Uang tersebut tidaklah dapat dikatakan sebagai investasi karena dalam jangka pendek bisa keluar kembali dengan cepat, dan dapat merontokkan mata uang Negara bersangkutan.
Hal ini juga terjadi di Indonesia, yang berdasarkan saran IMF menggunakan floating point untuk menentukan nilai kurs mata uangnya. Bank Sentral juga harus siap mengekpansi pasar jika suatu waktu banyak dana keluar dan nilai dolar dapat naik kapan saja. Pengelontoran dolar ke pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia misalnya sudah banyak menguras devisa kita, ini contoh bahwa saran IMF itu malah membuat kita semakin sulit. Anehnya kebijakn ini malah sampai sekarang masih saja digunakan.
Di Amerika Latin pada decade 1980-an, pemerintahnya menjalankan anggaran Negara dengan deficit yang begitu besar, melebihi 3 persen dari produk domistik bruto (PDB). Ini artinya akan terjadi peningkatan hutang pemerintah. Di sisi lain IMF mengharuskan agar melonggarkan sector moneter . Peredaran uang yang terjadi tidak diimbangi dengan peningkaran sector ril. Jelas hal ini akan mendorong inflasi.
IMF juga menggunakan kebijakan di Amerika Latin untuk juga diterapkan di Thailand, demikian juga di Indonesia, padahal setiap Negara memiliki kondisi perekonomian yang berbeda. Menurut Stiglitz para anggota staf IMF sebenarnya tidaklah lebih pintar dari ekonom Negara-negara yang terkena krisis. Para senior di IMF tidaklah demokratis dan terlalu konservatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H