"Belilah produk kami"
"Produk kami yang terbaik"
"Jangan salah pilih, pakailah produk kami"
Seberapa sering kalian mendengar kalimat-kalimat tersebut dalam kehidupan sehari-hari? Sangat sering, bukan? Setiap kali menyalakan televisi, berbagai iklan bertebaran, bahkan untuk jeda satu segmen, ada banyak sekali iklan yang dipertontonkan.
Iklan-iklan tersebut tidak hanya hadir di televisi, sosial media seperti Youtube, Instagram, TikTok juga terkena wabah iklan. Setiap kali kita akan menonton video di Youtube, selalu ada iklan yang mendahuluinya. Terkadang beberapa iklan bisa dilewati, namun tidak jarang kita juga menemukan iklan yang harus ditonton penuh.
Instagram, TikTok, maupun sosial media lain juga sama. Ada banyak sekali iklan yang bertebaran. Saking banyaknya, beberapa orang menyamakan sosial media ini dengan pepatah, sekali scroll, dua tiga iklan terlampaui.Â
Lebih parah lagi, iklan-iklan tersebut tidak hanya hadir sebagai pembuka video ataupun jeda acara, bahkan ketika kita sudah menonton iklan Youtube, videonya pun masih berisikan iklan. Begitu juga di televisi, setelah kita menunggu jeda iklan, ternyata acaranya pun merupakan sebuah iklan produk tertentu.
Muak dengan iklan dan dunia digital, coba lihat ke luar. Tetap saja "hantu" iklan masih mengikuti. Banner, spanduk, videotron yang ada di jalan tidak jauh-jauh dengan nama dan promosi sebuah produk. Sepertinya mustahil untuk menghindari iklan-iklan ini.
Menurut Barker & Jane (2016:241),culture jamming merupakan praktik "menghancurkan" pesan media massa, khususnya iklan, melalui sindiran artistik. Tujuan dari culture jamming ini adalah untuk memberikan sindiran agar masyarakat lebih peduli terhadap keadaan sekitar.
Dengan mengambil slot iklan serta menuliskan "My Ad Is No Ad", maka diharapkan memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa kita sudah dipengaruhi oleh banyak sekali iklan-iklan produk.
Gambar ini memberikan awareness kepada masyarakat bahwa setiap model yang terpampang di iklan selalu merupakan perempuan putih dan kurus sehingga menimbulkan 'stereotip' bahwa perempuan yang cantik harus putih dan kurus.
Tulisan di gambar tersebut merupakan sindiran terhadap produk-produk yang hanya menampilkan model-model dengan penampilan tertentu saja. Tujuan sindirannya adalah agar produk yang mau mengiklan paham bahwa semua orang cocok dan bisa mengiklankan produk mereka, tidak hanya perempuan yang putih dan kurus.
Postmodernisme
Postmodernisme hadir sebagai penyempurnaan dan bentuk kritik atas modernisme. Postmodernisme fokus memberikan arti terhadap suatu peristiwa dan memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Menurut Arias dan Acebron (dalam Retnawati:2016), inti dari postmodernisme adalah adanya ide-ide dari budaya, bahasa, naratif, model, estetika, simbol, dan kebebasan berekspresi serta memberikan 'meaning'.Â
Maka dari itu, culture jamming hadir sebagai baguab dari postmodernisme. Menggunakan sindiran artistik yang bertujuan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap sekitar, maka culture jamming selaras dengan inti dari postmodernisme untuk menciptakan perlawanan dan pertentangan agar masyarakat lebih memahami kenyataan yang ada.Â
Sumber
Barker, C. & Jane, E.A. (2016). Cultural Studies: Theories and Practices. 5th ed. London: Sage Publications.Â
Retnawati, B. B. (2016). Perubahan Pandangan Modernism dan Postmodernism Dalam Konsep Konsumsi dan Konsumen. Fakultas Ekonomi Universitas Soegijapranata. Diakses pada 29 Maret 2021 dari sini. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H