Berikut ini adalah tulisan yang saya buat 4 april 2020. Saya mencoba mengulas balik manuver DPR RI yang memanfaatkan momentum pandemi Covid-19 untuk membahas targetan uji materi dan pengesahan RUU Omnibus. Pembahasan RUU Cipta Kerja dalam skema "omnibus law" yang diusulkan pada akhir 2019 menyeret arus yang besar dalam kondisi demokrasi di Indonesia. Parahnya lagi, 2 April 2020, DPR RI terkesan tertutup memunculkan spekulasi mengenai soal "kepentingan" dalam pembahasan pengesahan Omnibus Law di saat kondisi bangsa Indonesia sedang didera pandemi global, yaitu Coronavirus Disease-19.
Apakah DPR ikut sebagai pembawa virus (pembonceng) dalam Omnibus?
Sebagai wakil rakyat yang seharusnya mendominasi kepentingan nasional, DPR tidak perlu gelagat seperti maling yang masuk ke rumah di saat pemilik rumah sedang tidur lelap. Pasalnya, di tengah wabahnya covid-19 ini membuat para anggota dewan harus melakukan rapat kerja dan sidang paripurna secara online atau via virtual.
Terlebih tidak ada legal standing agar keputusan bisa dinilai sah, sehingga kemungkinan akan mengabaikan ketentuan formal pembentukan undang-undang. Memang sudah kebiasaan jika ada orang mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Itulah Indonesia yang selalu mengaitkan suatu peristiwa dengan istilah aji mumpung. Istilah yang muncul adalah mumpung Presiden Jokowi dan staf menterinya sedang puyeng membuat terobosan kebijakan tentang penanganan pandemi Covid 19. Dan masyarakat disibukkan dengan aktivitas Work From Home, ini adalah waktu yang tepat dalam pengesahan Omnibus.
Jika tidak, kalau itu akan disahkan setelah Indonesia dinyatakan bebas dari virus, maka proyek-proyek pemerintah tak akan jalan sama sekali . Sekali lagi, 'mumpung'.
Memang dari awal pemerintah kita sudah lebih pintar. Di saat pandemi Covid-19 menyerang beberapa belahan dunia, malah pemerintah asyik berguyon bahwa Covid 19 tidak akan masuk ke Indonesia. Sama seperti yang disampaikan Menko Perekonomian Airlangga, "Karena perizinan di Indonesia berbelit-belit, maka virus corona tak bisa masuk. Tapi Omnibus Law tentang perizinan lapangan kerja jalan terus."
Ulet dan bijak, mumpung pemerintah sedang butuh sekali investor yang digadang-gadang dapat menambah lapangan kerja. Presiden Jokowi asyik mendatangkan Investor dan pekerja asing ke Indonesia. Bukan mendatangkan para pakar dalam penanganan preventif demi masyarakat luas kala itu.
Ya, pemerintah kita mungkin tidak andal sebagai decision maker, tapi lebih berkapasitas sebagai joke maker.
Pesan Dibalik Kelakar DPR
Jika melihat usulan pemerintah, awalnya mengatakan perlunya Omnibus Law dalam memutus persoalan perizinan di Indonesia berbelit-belit. Dan salah satu langkah untuk membangkitkan semangat perekonomian Indonesia dengan membuka kran investasi sebesar-besarnya itu, maka 100% itu merupakan kritik yang disampaikan secara menggelitik.
Bahwa dengan usulan itu, pemerintah bahkan telah menelanjangi diri sendiri sebab tidak mampu berbuat banyak dalam mengentasi kemiskinan yang bangsa ini alami, termasuk keterbatasan lapangan pekerjaan, softskill dan lainnya. Bahkan kebijakan investasi juga akan mendorong segala bentuk impor barang tentunya, termasuk yang bisa menyengsarakan para petani sekalipun, jika penguasa mau, bisa terlaksana.
Dalam perspektif kebijakan membangkitkan kembali gairah perekonomian nasional, pemerintah tidak serta merta harus memandang Omnibus sebagai jalan keluar nya, sama halnya ketika kebijakan Tax Amnesti (ampunan pajak) yang digadang-gadang dapat menyerap pemasukan negara dari luar negeri, namun berpotensi menjadi praktik legal pencucian uang. virus-virus imprealis dan neokolim berbahaya akan masuk lewat pintu Omnibus Law dalam bentuk impor pangan yang kian ringan dan mudah, impor ternak, upah buruh makin murah sementara jam kerja bertambah yang bisa cepat menurunkan daya tahan tubuh kaum buruh terkait upah yang akan ditentukan berdasarkan jam kerja, hal ini juga akan mereduksi hak-hak pekerja, seperti jaminan sosial, pengupahan, dan hubungan industrial.Â
Begitu juga penghapusan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dimana ratusan kelompok masyarakat adat berjuang dalam menghadapi ancaman perubahan iklim dan kerusakan lingkungan (degradasi) akibat aktivitas industri dari perusahaan perusak lingkungan. Omnibus Law akan menghilangkan banyak aturan soal lingkungan hidup hanya untuk menyenangkan pemilik modal.
Lantas bagaimana dengan virus tadi? Sikap DPR yang saat ini memutuskan pembahasan pengesahan Omnibus Law seakan akan membuka ruang dan jalan bagi virus neokolim. Virus ini sebenarnya terletak pada birokrasi dijajaran pemerintahan yang korup sehingga memperlambat banyak hal.Â
Hal ini juga beriringan dengan langkah pemilik modal yang notabene juga merupakan pejabat publik dan ingin menjaga barisan investor dibalik kebijakan yang diterapkan. Kebanyakan mereka yang memiliki sektor bisnis yang sangat besar, sebut saja begitu.
Pandemi Omnibus Law dimasa Covid -19
Dibalik penyebaran Virus Covid 19 yang kian merebak ke beberapa provinsi di Indonesia membuat masyarakat kian terpuruk, tidak hanya mentalnya, kondisi ekonomi akan diprediksi berputar 180 derajat, apakah kita akan mengalami kembali krisis ekonomi? Dampak pandemi COVID-19 diperkirakan lebih besar dari krisis keuangan global seperti yang terjadi di tahun 2008. Bahkan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) memperkirakan bahwa ekonomi dunia hanya akan tumbuh 1,5 % pada tahun ini jika pandemi ini berlanjut dan memburuk.Â
Dimana setidaknya pasar sudah menunjukkan gejolak inflasinya, harga kian naik terutama pada sektor kesehatan termasuk APD, begitu juga dengan bahan pangan lainnya. Di Jakarta bahkan dibeberapa daerah sudah ada pemutusan hubungan kerja (PHK) seperti buruh yang aktivitasnya berkurang.Â
Tidakkah ini menjadi perhatian serius DPR dalam merumuskan kebijakan untuk mengantisipasi hal tersebut ketimbang sibuk bersukaria dalam skema pembahasan omnibus law.
Indonesia tidak hanya diserang oleh pandemi covid 19, melainkan kita diserang pandemi omnibus law. Siapa pembawa virus dalam OmnibusLaw itu? Yang pasti RUU Omnibus Law Ciptaker ini dirancang sebagai wujud konsolidasi para nekolim (pemilik modal-red) dengan pemerintah.Â
Bukan rahasia lagi kompromi politik akan memberikan dampak kepuasan yang besar atas kemudahan yang difasilitasi oleh negara. Karena sudah jelas tujuannya agar para pemilik modal mau berinvestasi di dalam negeri dan investor asing mau berinvestasi di Indonesia.Â
Kalau memang investasi asing dianggap sebagai yang paling layak dalam mendobrak perekonomian bangsa (jika bergerak dalam logika modal) maka investasi asing akan menghancurkan pemodal pemodal tak layak, seperti pelaku usaha domestik. Sehingga Pandemi omnibus menyebabkan beberapa kalangan akan kesulitan dalam menjalani kehidupannya.
Sudah seharusnya pembahasan omnibus bisa disingkirkan oleh DPR ditengah situasi yang semakin sulit akibat pandemi covid 19. Sebagai sebuah metode, pendekatan pembahasan omnibus law mengabaikan dalam pembentukan undang-undang pada UU No. 12/2011.Â
Secara ideal, penyederhanaan harus terjadi pada struktur peraturan dan substansi peraturan, serta konsistensi peraturan, termasuk mempertimbangkan risiko ke depan, dan prosesnya tetap melandaskan pada tiga prinsip utama good governance, yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi. negara sedang menghadapi persoalan yang sangat berat yaitu menangani wabah virus corona.Â
Namun, DPR terkesan memaksakan kehendak. DPR dan pemerintah seharusnya berupaya membahas usulan alokasi dan distribusi anggaran untuk penanganan covid 19. Pemerintah semestinya menyadari bahwa mereka butuh kepercayaan publik dalam menangani Covid-19.Â
Jika DPR dan Pemerintah bertahan atas sikapnya, maka akan mengancam ketahanan nasional. Sebab hal itu tidak dapat dipaksa karena pasti menimbulkan konflik di lapangan, khususnya dengan rakyat di daerah.
#TolakpembahasanpengesahanOmnibusLaw
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H