Di tengah wabah pandemi global Covid-19 yang membuat resah masyarakat luas, tenyata masih tersimpan erat virus yang lekat dari diri manusia dan tak kalah berbahaya bernama intoleransi. Virus ini membuat manusia kehilangan hati nurani dan kemanusiaannya.
Sangat memilukan, pun kita harus akui Bangsa Indonesia sedang mengalami distorsi yang cukup luas, dampak krisis virus intoleransi berkembang menjadi pandemi radikalisme yang semakin memunculkan bekas dan jarak antar kelompok masyarakat, walaupun jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) sangat tegas dijamin dalam konstitusi, namun itu hanya sebagai onggokan prasasti. Â
Minggu tanggal 19 April 2020, grup lintas iman di Whatsapp saya penuh dengan pemberitaan ikhwal pembubaran ibadah yang dialami oleh keluarga Jamin Sihombing salah satu warga di Cikarang, Jawa Barat di Cikarang, Jawa Barat.
Kronologi kejadiannya, dimulai saat keluarga Jamin Sihombing, dan keluarga termasuk anaknya Arion Sihombing yang merupakan penatua pada salah satu gereja dan aktivis lintas iman, sedang melakukan ibadah keluarga minggu (19/4/2020) di rumah sebagai bagian dari komitmen mereka melaksanakan himbauan pemerintah dalam kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus mata rantai penyebaran Corona Virus Disease (COVID) 19.
Malangnya saat ibadah berlangsung dua orang memakai sarung dan peci menyambangi kediaman Jamin Sihombing yang tak lain adalah Haji Mulyana dan ketua RT dengan marah-marah sambil membawa kayu.
Arion Frederick Sihombing, anak Jamin kemudian merekam dan membagikan kejadian tersebut melalui akun instagram pribadi miliknya (@arionsihombing). Pun unggahan tersebut sempat viral di berbagai tautan media massa dan mendapatkan respon ribuan netizen yang menyangkan tindakan terjadinya peristiwa tersebut.
Bukan kali pertama bagi Arion Sihombing dan keluarganya mendapatkan perlakuan serupa. Persis 12 tahun silam, ia mengalami persoalan sama kala didemo warga dan diteror lemparan batu saat melaksanakan ibadah syukuran di rumah. Peristiwa itu pun terjadi selama 1 bulan penuh.
Jika alasannya adalah melanggar, tentu saja konsekuensinya ada, namun jika individu melarang atas dasar "Ibadah Dilarang" jelas itu adalah persekusi dan diskriminasi.
Sebagai umat kristiani, Arion Sihombing dan keluargan telah menjalankan keyakinannya yang dijamini oleh konstitusi. Konteks jaminan KBB sangatlah tegas diatur di dalam konstitusi yakni pasal 28E ayat (1) yang menyatakan bahwa:
"Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali."Â
Demikian juga pada pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu, dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 jelas mengatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain.
Hal di atas jelas bahwa Konsitusi dan Pancasila menjadi jembatan untuk saling menghargai dan menghormati Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia.Â
Bagaimana dengan nasionalisme dan pluralitas? Apakah kita sebagai makhluk dengan derajat yang paling tinggi sudah tidak lagi memiliki moralitas atas nilai-nilai yang kita junjung tinggi? Semakin lama negara membiarkan wabah intoleransi tumbuh di masyarakat maka semakin besar pula kesempatan intoleransi bermetamorfosa menjadi virus radikalisme.
Pun tak bisa dipungkiri, intoleransi adalah bibit utama virus radikalisme yang kini telah membunuh banyak manusia di dunia. Saling membenci, meragukan dan sensitifis, akibatnya adalah perpecahan dan disintegrasi. Apakah makna ke Indonesiaan yang kita agungkan masih jauh dari makna persatuan?
Sadarkah kita saat ini terjemahan kebangsaan, keindonesiaan dan persatuan masih jauh dari makna dan entitasnya. Pada akhirnya Situasi kemanusiaan yang saat ini terjadi merupakan sebuah bentuk bifurkasi persatuan yang mengacu terciptanya sebuah siklus perpecahan.
Dilihat dari perspektif kedaerahan, provinsi Jawa Barat menjadi penyumbang tindakan intoleransi terbesar di Indonesia. Berdasarkan laporan hasil riset Setara Institute tahun 2019, menyebut Jawa Barat merupakan daerah dengan tingkat intoleransi tertinggi di Indonesia. Setara Institute merinci, selama 5 tahun terakhir, yakni 2014-2019, total pelanggaran kebebasan beragama di Jawa Barat sebanyak 162 pelanggaran.Â
Angka ini juga masih lebih tinggi dibandingkan DKI Jakarta, yang berjumlah 113 kasus. Ini menjadi rapor merah bagi seluruh pemerintahan di daerah.
Sudah seharusnya masyarakat, pemerintah, dan elemen dibawahnya kewajiban melindungi dan menjamin kebebasan beragama, yaitu berupa melindungi (to protect), menghormati (to respect) dan memenuhi (to fulfill). Dimana Indonesia yang dipersatukan oleh Pancasila seharusnya menjadi rumah bersama bagi setiap warganya.
Hal ini sebagai penanda tidak dewasanya bangsa yang dianugerahi Tuhan atas kemajemukan dalam hal suku, etnis, agama, dan budayanya maka kita sudah masuk zona intoleran.Kita berbeda karena kehendak Tuhan, bila mampu menyikapi perbedaan dengan kasih sayang (karakter khas makhluk Tuhan) maka arena selanjutnya berbuat amal salih dengan siapa pun tanpa membedakan perbedaan untuk sangu pati.
Memang tidak ada jaminan bahwa masyarakat, bahkan pemerintah Paripurna dalam memaknai Pancasila, Nasionalisme dan Persatuan sebagai entitas yang dijunjung tinggi. Suatu pemerintahan yang belum memenuhi standar tersebut diharuskan untuk menyusun kebijakan yang bisa menjamin terlaksananya tugas tersebut.Â
Maka kiranya penting untuk melihat realisasi dari tugas dan kewajiban pemerintah Indonesia untuk mengikuti standar penghargaan atas kebebasan beragama dan tujuan demokrasi tersebut.
Mengakhiri Siklus Intoleransi
Arion Sihombing hanyalah satu dari contoh maraknya kasus intoleransi di Indonesia. Pada kasus lain, kita jamak menyaksikan pelbagai kejadian intoleransi, mulai dari pembakaran dan pengrusakan rumah ibadah, persekusi, hingga perlakuan diskrimnatif. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang diijinkan Tuhan untuk berbeda, tiada satupun yang lahir dan ada di bangsa ini dengan kebetulan.
Semua merupakan bentuk intervensi Tuhan. Tiada bangsa yang merdeka tanpa kehendak Tuhan, maka dari itu juga tidak seharsunya tiap individu mencampuri urusan kepercayaan dan agama individu lainnya. Sebab kepercayaan adalah urusan pribadi individu dengan Tuhannya.
Di saat kondisi bangsa kita lemah karena pandemi global Covid-19 seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua bahwa negara tidak akan mampu mengatasi wabah ini sendirian, sebab segala sesuatunya kita harus meminta pertongan dan penyertaan Tuhan yang kuasa dalam memberikan kekuatan dan anugerrahmya agar kita dimampukan melewati wabah covid-19 ini. Kita "hanya" perlu mengakui dan melindungi Hak setiap orang untuk percaya dan meyakini sesuatu.
Sudah saat nya kita mengakhiri siklus intoleran dibumi pancasila ini. Intoleransi layaknya virus yang bisa menyerang siapapun dengan tautan utama berkaitan dengan relasi mayoritas dan minoritas.
Perlu diketahui, bahwa sepanjang sejarah peradapan manusia di dunia kerukunan antar umat beragama merupakan penyumbang terbesar bagi terciptanya perdamaian di muka bumi.
Toleransi bukan sebatas bunyi-bunyian tanpa kesadaran bahwa kita telah diijikan Tuhan untuk bersatu. Seharusnya kita sadar bahwa penyebab konflik atau pergesekan agama karena faktor warga negara dan pemerintah yang memang belum menerapkan dengan baik prinsip penghormatan dan pengakuan perbedaan agama yang menunjukkan atribusi internal.Â
Pengakuan faktor penyebab internal akan membuat kita lebih mudah melakukan refleksi dan perubahan perilaku. Dengan adanya penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan agama maka vulnerability (kerentanan) juga akan berkurang, pun tidak hanya untuk melindungi agama dan kepercayaan mereka. Jauh daripada itu untuk melindungi nilai kemanusiaan itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H