Mohon tunggu...
Piki Darma Kristian
Piki Darma Kristian Mohon Tunggu... Penulis - Direktur Public Policy and Governance Studies (PubLiGO)

Peneliti dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Intoleran, Mengebiri Pluralisme di Tengah Pandemi

25 April 2020   05:21 Diperbarui: 30 April 2020   14:16 1087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hal di atas jelas bahwa Konsitusi dan Pancasila menjadi jembatan untuk saling menghargai dan menghormati Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia. 

Bagaimana dengan nasionalisme dan pluralitas? Apakah kita sebagai makhluk dengan derajat yang paling tinggi sudah tidak lagi memiliki moralitas atas nilai-nilai yang kita junjung tinggi? Semakin lama negara membiarkan wabah intoleransi tumbuh di masyarakat maka semakin besar pula kesempatan intoleransi bermetamorfosa menjadi virus radikalisme.

Pun tak bisa dipungkiri, intoleransi adalah bibit utama virus radikalisme yang kini telah membunuh banyak manusia di dunia. Saling membenci, meragukan dan sensitifis, akibatnya adalah perpecahan dan disintegrasi. Apakah makna ke Indonesiaan yang kita agungkan masih jauh dari makna persatuan?

Sadarkah kita saat ini terjemahan kebangsaan, keindonesiaan dan persatuan masih jauh dari makna dan entitasnya. Pada akhirnya Situasi kemanusiaan yang saat ini terjadi merupakan sebuah bentuk bifurkasi persatuan yang mengacu terciptanya sebuah siklus perpecahan.

Dilihat dari perspektif kedaerahan, provinsi Jawa Barat menjadi penyumbang tindakan intoleransi terbesar di Indonesia. Berdasarkan laporan hasil riset Setara Institute tahun 2019, menyebut Jawa Barat merupakan daerah dengan tingkat intoleransi tertinggi di Indonesia. Setara Institute merinci, selama 5 tahun terakhir, yakni 2014-2019, total pelanggaran kebebasan beragama di Jawa Barat sebanyak 162 pelanggaran. 

Angka ini juga masih lebih tinggi dibandingkan DKI Jakarta, yang berjumlah 113 kasus. Ini menjadi rapor merah bagi seluruh pemerintahan di daerah.

Sudah seharusnya masyarakat, pemerintah, dan elemen dibawahnya kewajiban melindungi dan menjamin kebebasan beragama, yaitu berupa melindungi (to protect), menghormati (to respect) dan memenuhi (to fulfill). Dimana Indonesia yang dipersatukan oleh Pancasila seharusnya menjadi rumah bersama bagi setiap warganya.

Hal ini sebagai penanda tidak dewasanya bangsa yang dianugerahi Tuhan atas kemajemukan dalam hal suku, etnis, agama, dan budayanya maka kita sudah masuk zona intoleran.Kita berbeda karena kehendak Tuhan, bila mampu menyikapi perbedaan dengan kasih sayang (karakter khas makhluk Tuhan) maka arena selanjutnya berbuat amal salih dengan siapa pun tanpa membedakan perbedaan untuk sangu pati.

Memang tidak ada jaminan bahwa masyarakat, bahkan pemerintah Paripurna dalam memaknai Pancasila, Nasionalisme dan Persatuan sebagai entitas yang dijunjung tinggi. Suatu pemerintahan yang belum memenuhi standar tersebut diharuskan untuk menyusun kebijakan yang bisa menjamin terlaksananya tugas tersebut. 

Maka kiranya penting untuk melihat realisasi dari tugas dan kewajiban pemerintah Indonesia untuk mengikuti standar penghargaan atas kebebasan beragama dan tujuan demokrasi tersebut.

Mengakhiri Siklus Intoleransi
Arion Sihombing hanyalah satu dari contoh maraknya kasus intoleransi di Indonesia. Pada kasus lain, kita jamak menyaksikan pelbagai kejadian intoleransi, mulai dari pembakaran dan pengrusakan rumah ibadah, persekusi, hingga perlakuan diskrimnatif. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang diijinkan Tuhan untuk berbeda, tiada satupun yang lahir dan ada di bangsa ini dengan kebetulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun