Malam semakin larut dan aku terus berusaha minta tolong. Keadaan dalam keluarga ini semakin kacau saja. Semua memandangku dengan pandangan rasa kasihan melihat seorang bayi penuh air mata. Sementara anak yang di luar kadang mengumpatku, lalu menunjukkan wajah seramnya.
“Gimana ini, Pa? sudah jam sepuluh malam anak kita belum juga tidur. Nangis terus dari tadi sampai matanya merah.” Berulangkali ibu mengusap keningku yang basah oleh keringat.
“Apa dia sakit?” Tanya ayahku, sambil duduk di samping ibuku.
“Kemarin kan baru ke dokter?”
“Lalu apa? Kasihan dia, dari tadi sore nangis terus.”
“Coba sini kakek yang gendong. Jangan nangis terus ya anak baik.” Diangkatnya tubuh kecilku oleh kakek dan diajaknya keluar. Aku semakin takut dan suara tangisanku semakin keras. Aku mencoba menolak untuk keluar rumah, takut kalau anak itu melakukan sesuatu yang buruk terhadapku.
“Tak mau keluar, ya?” Tanya kakekku. Aku tak menjawab. Sepertinya kakek mengerti sesuatu melihat gelagatku. Beliau membisikkan sesuatu pada telinga kananku, sangat lirih sehingga aku pun tak mendengarnya. Aku dibawa keluar lagi. Aku berontak.
“Anak ini tak mau ikut denganmu. Jangan memaksanya. Pergi saja sana sebelum aku mengusirmu!!”
Kakek tahu keberadaan anak itu tapi beliau tak bisa melihatnya. Kulihat pandangannya salah saat bicara tadi. Anak yang di luar takut juga mendengar perkataan kakek. Seperti dikejar anjing ia lari terbirit-birit tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Aku diam. Dan semua orang di rumah ini pun menunjukkan kegembiraannya. Aku lelah karena sedari tadi menangis dan semua orang pun lelah. Sampai jam sebelas malam saat ini menungguku, menangis tak tahu sebabnya. Sudahlah, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak sembarangan berteman, salah-salah membuat celaka pada diri- sendiri.
* * *