“Tepatnya rumah kakekku.”jawabku. ia kelihatan murung. Kegirangannya yang tadi menghilang. Kadang ditutupi matanya dengan kedua tangan mungilnya seperti orang yang silau ketika menatap langsung sinar matahari.
“Kakekmu siapa sih ?”
“Ia takmir masjid ini. Beliau sangat taat beragama. Setiap habis maghrib dan subuh beliau selalu mengaji, menenangkan hati. Ketika aku sedang marah, mendengar lantunan ayat-ayat Al-Quran yang dibacakan beliau membuat hati luruh dan kemarahan pun akhirnya hilang. Kamu pasti senang melihatnya.”
“Aku tak suka pada orang yang beriman. Aku tak suka orang membaca Al-Quran, membuat kupingku sakit.”
“Mengapa begitu?”
“Karena aku tak suka.” Sepertinya dia agak marah. Wajahnya memerah.
“Ayo ikut masuk.” Diam. Tapi akhirnya ikut juga masuk. Ia mengendap-endap seperti maling saja. Sikapnya kali ini seperti orang yang sedang dalam medan pertempuran. Tengok sana, tengok sini.
“Mengapa kamu seperti itu?” tanyaku
“Aku takut.”
“Kenapa mesti takut. Ini rumahku dan kau kuijinkan masuk.”
“Bukan itu. Di rumah seperti ini aku tak bisa menyepelekan. Ada yang menjaga agar orng-orang seperti aku tidak dapat masuk.” Aku tak mengerti. Ini rumahku dan tak ada siapa-siapa selain keluargaku. Apa maksudnya penjaga?