“Kok berdiri di situ. Ayo ikut.”
“Aku tak berani. Kamu saja yang menemaniku di sini. Jangan ikut ayahmu!!”
“Aku tak bisa.”
“Kamu harus menemaniku!!” Ia agak marah. Kutinggalkan ia di emperan rumah bersungut-sungut.
Sepertinya bukan main-main perkataannya itu . ia tak mau pergi dan terus memaksa agar aku menemaninya. Aku tak berani ngomong banyak-banyak karena nanti akan didengar ayah dan ibuku sebagai sebuah tangisan. Aku berusaha menahan tetapi ia terus merayuku dengan berbagai macam perkataan.
“Aku sudah menemanimu tadi kenapa sekarang kau tak mau menemaniku?” Katanya. Ia berusaha agr aku mengatakan sesuatu. Semakin lama ia semakin marah saja. Aku mulai agak takut.
“Kau pergi saja!!” Pintaku.
“Tidak. Aku takkan pergi sebelum kamu mau menemaniku.”
Ketakutanku agak berkurang ketika kakekku membaca Al-Quran sehabis sholat maghrib. Ia pergi, entah benar-benar pergi atau cuman menghindar sebentar. Hatiku agak tenang mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang dilantunkan oleh kakekku.
Tak berlangsung lama ia datang lagi. Kakek sudah selesai. Kali ini wajahnya berbeda dengan yang tadi, lebih menyeramkan dan kelihatan bengis. Aku takut, takut sekali. Tak tahu harus berbuat apa, aku teriak-teriak, minta tolong pada orang-orang yang ada di rumah ini.semakin keras aku berteriak karena perangai anak itu telah berubah seratus delapan puluh derajat.
Keadaan pun menjadi kacau. Semua orang tertuju padaku, tapi tak ada yang mengerti ucapanku. Yang mereka dengar hanya tangisan bayi berumur kurang daru 1 tahun. Tapi aku harus berbuat apa? Diam aku tak sanggup, sikapku semakin tak karuan. Digendong ibu tak mau, ayah tak mau, kakek tak mau. Disodori susu aku pun tak mau karena memang bukan itu masalahku.