Makamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia sepakat dilahirkan pada tanggal 13 Agustus 2003 bertepatan dengan disahkannya UU Nomor 24 tentang Makamah Konstusi Republik Indonesia. Berdasarkan UU Nomor 24 itu, dalam menjalankan tugasnya mengawal praksis hukum di Tanah Air agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi, MK mempunyai empat wewenang, yaitu (1) menguji undang-undang terhadap UUD 1945; (2) memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; (3) memutus pembubaran partai politik; Â dan (4) memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
     Sementara itu, semua keputusan MK sebagai hasil pelaksanaan kewenangan, bersifat final dan mengikat (final and binding). Putusan MK bersifat final artinya putusan itu langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan  tidak ada "pintu terbuka" untuk upaya hukum lanjutan. Sedangkan putusan MK bersifat mengikat berarti putusan itu tidak hanya berlaku bagi para pihak, tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Akibat dari sifatnya, keputusan MK dapat mendorong terjadinya proses politik, seperti amendemen atau mengubah undang-undang atau membuat undang-undang baru yang "sejiwa" dengan UUD 1945 dan menetapkan hasil pemilihan umum; dapat mengakhiri sengketa hukum; membatalkan sebuah keputusan politik dan atau sebuah undang-undang hasil produk politik; menimbulkan  rasa ketidakadilan pihak-pihak yang tidak puas terhadap putusan-putusan MK; dapat terjadi pembusukan hukum terkait dengan lemahnya penegakan hukum karena tidak mempunyai kekuatan memaksa (eksekutorial) sehingga putusan tersebut hanyalah putusan di atas kertas.1
     Namun, keputusan yang bersifat final dan mengikat itu hanyalah sebuah teks, yaitu karya wacana yang dimantapkan dalam tulisan dan secara objektif merupakan dialektik makna dan referensi (sense and reference); makna adalah arti konseptual yang terberi di dalam wacana; sedangkan referensi adalah kenyataan yang diperkatakan melalui wacana.2  Hal ini menunjukkan bahwa para hakim MK yang menghasilkan karya wacana keputusan tersebut merupakan "the man behind the gun" karena mereka memiliki pengetahuan, pengalaman pribadi, pikiran, perasaan, kerinduan, kecemasan, dan imajinasi yang tidak sepenuhnya dapat diperkatakan di dalam teks keputusan. Artinya, sebuah teks keputusan yang baik dan benar sangat tergantung pada konsepsi dan praksis kebaikan dan kebenaran konstitusional para hakim MK. Â
    Oleh karena itu, para hakim MK harus "mempersenjatai" dirinya dengan sebuah spiritualitas berkarya untuk merumuskan nilai kebaikan dan kebenaran konstitusional dalam lembar-lembar keputusan. Pertanyaannya sekarang adalah spiritualitas macam apakah yang mampu menjamin hadirnya nilai kebaikan dan kebenaran dalam mengambil sebuah keputusan MK? Aspek atau karakter spiritulitas apakah yang harus dimiliki oleh seorang hakim MK?
***
     Istilah spiritualitas seringkali disalahartikan dan dilihat sebagai sesuatu yang sekonteks dengan agama, keyakinan tertentu, aturan moral, dan tradisi-tradisi. Spiritualitas pada dasarnya bukanlah sesuatu yang formal, terstruktur, dan terorganisir seperti agama pada umumnya. Spiritualitas berasal dari kata spiritus yang artinya adalah nafas kehidupan. Spirit merupakan kekuatan yang tidak terlihat yang memberikan nafas bagi kehidupan kita, menghidupkan kita, dan memberikan kita energi. Spirit membantu kita dalam mendefinisikan kebenaran, keunikan diri sesungguhnya dalam diri kita, dan menegaskan individualitas kita. Spiritualitas memiliki dua komponen yaitu vertikal dan horizontal. Komponen vertikal dalam spiritualitas adalah hasrat untuk melampaui ego atau self-esteem diri. Komponen vertikal ini bisa berkaitan dengan Tuhan, jiwa, alam semesta, kekuatan tertinggi atau sesuatu lainnya. Komponen vertikal lebih kepada perwujudan sesuatu yang tidak dapat dilihat. Sedangkan, komponen horizontal dalam spiritualitas adalah hasrat untuk melayani orang lain dan bumi. Komponen horizontal ini ditunjukkan dengan bagaimana seseorang berusaha untuk membuat perbedaan melalui tindakannya. Komponen horizontal ini lebih kepada perwujudan sesuatu yang dapat dilihat.3
     Dengan demikian, spiritualitas MK merupakan kekuatan yang tak kelihatan yang memberi energi hidup kepada hakim MK untuk membantunya merumuskan nilai kebaikan dan kebenaran dalam suatu keputusan konstitusional yang berkaitan dengan  relasi vertikal dan horizontal. Spiritualitas membantu individu dalam menemukan makna dan tujuan hidupnya dan lebih menunjukkan nilai personalnya. Nilai personal ini merefleksikan hasrat untuk membuat perbedaan dan membantu untuk membuat dunia lebih bermakna. Maka dari itu, memiliki spiritualitas dalam kehidupan sehari--hari sangat penting untuk membuat hakim MK menjadi individu yang utuh dan bermakna. Artinya, menjadi hakim MK sudah saatnya dihayati sebagai vocation (panggilan), bukan sekadar profession (profesi) apalagi avocation (kegemaran).Â
     Penghayatan kewenangan hakim MK sebagai  panggilan hidup akan mengkristal dalam tiga karakter spiritualitas hakim MK, yaitu logos, ethos, dan pathos. Ketiga karakter ini dibangun melalui koridor internalisasi tata nilai; menyadari mana yang boleh dan mana yang tidak boleh; membentuk kebiasaan;  dan menjadi teladan pribadi yang berkarakter.4
Karakter Logos
Â
     Kata logos berasal dari bahasa Yunani yang berarti 'sabda' atau 'buah pikiran' yang diungkapkan dalam perkataan, pertimbangan nalar atau arti. Dalam tata bahasa, logos diartikan sebagai  kalimat yang lengkap;  dalam logika, logos diartikan sebagai suatu pernyataan yang berdasarkan kenyataan; dalam retorika, logos diartikan sebagai  pidato yang tersusun secara tepat.5
     Tanpa menganggap sepele makna yang lain, makna logos dalam logika, yaitu suatu pernyataan yang berdasarkan kenyataan, menjadi  norma karakter logos dalam spiritualitas hakim MK. Norma bagi hakim MK adalah sebuah aturan, patokan atau ukuran yang harus dipegang teguh dan dipergunakan dalam melaksanakan wewenang konstitusionalnya. Hakikat sebuah norma adalah aturan, patokan atau ukuran yang bersifat "pasti  dan tak berubah" yang dengannya kita dapat membandingkan sesuatu hal lain yang  hakikatnya, ukurannya, atau kualitasnya diragukan.6
     Karakter logos dalam spiritualitas hakim MK dapat dikembangkan memalui beberapa prinsip dasar. Pertama, buatlah dimengerti. Apapun argumen keputusan yang disampaikan, harus mudah dipahami oleh para pihak.  Kedua, buatlah logis. Pastikan argumen keputusan yang  disampaikan, mudah dinalar oleh para pihak.  Perlu diingat bahwa setiap argumen yang  disampaikan akan dipikirkan oleh para pihak;  jika itu masuk akal, akan dipercayainya; jika tidak masuk akal akan ditolaknya. Ketiga, buatlah nyata. Sebuah argumen keputusan yang didasarkan pada fakta dan contoh-contoh konkret cenderung lebih mudah diterima oleh para pihak. Semakin baik fakta yang ditunjukkan, semakin besar pula kepercayaan para pihak. Keempat, kesadaran rasional atau rasionalitas sehat. Sebuah keputusan seharusnya diletakkan pada rasionalitas, yaitu kesadaran untuk menghayati hidup dalam alam pikir dan timbang diri yang dipijakkan pada kejernihan akal budi untuk menanggungjawabi pilihan-pilihan dan keputusan hidup.7
Â
Â
Â
Karakter Ethos
Â
     Kata ethos berasal dari bahasa Yunani  yang berarti 'sikap', 'kepribadian', 'watak', 'karakter', serta 'keyakinan' atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat atau pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial. Secara terminologis kata ethos, mengalami perubahan makna yang meluas, yaitu suatu aturan umum atau cara hidup; suatu tatanan aturan perilaku;  penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan tingkah laku. Dari kata ethos ini dikenal pula kata etika yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk moral.8
     Dalam konteks spiritualitas hakim MK, ethos dipahami sebagai etika, yaitu kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; nilai mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.9  Dengan demikian, karakter ethos hakim MK perlu dilandaskan pada norma etik "penggembalaan", penyusunan, dan pemeliharaan konstitusi. Dalam penegakan konsitusi, hakim MK perlu memperhatikan empat norma etik. Pertama, norma etik kemanusiaan, yaitu memperlakukan manusia sebagai manusia karena manusia memiliki keluhuran pribadi. Kedua, norma etik keadilan, yaitu kehendak yang ajeg dan kekal untuk memberikan kepada orang lain apa saja yang menjadi haknya. Ketiga, norma etik kepatuhan, yaitu hal yang wajib dipelihara dalam pemberlakuan undang-undang. Keempat, norma etik kejujuran, yaitu sikap jujur dalam mengurus dan menangani konstitusi serta dalam melayani "justitiable" yang berupaya mencari keadilan kontitusi.10
     Karakter ethos menghendaki hakim MK bertindak menurut prinsip-prinsip objektif, yaitu suatu kaidah objektif yang mengharuskan orang agar, misalnya, tidak menipu sebenarnya menuntut suatu tindakan yang pada dirinya sendiri harus dilakukan, terlepas dari soal apakah disenangi atau tidak, menguntungkan atau merugikan. Prinsip objektif itu bersifat wajib atau imperatif, yaitu memerintahkan kepada manusia untuk melakukan suatu tindakan secara hipotesis atau kategoris. Imperatif hipotesis adalah perintah bersyarat; artinya suatu tindakan adalah baik hanya sebagai sarana demi suatu yang lain, bukan demi keharusan tindakan itu sendiri. Sedangkan, imperatif kategoris, yaitu kalau suatu tindakan adalah baik pada dirinya sendiri, lepas dari pertimbangan apakah "baik" lantaran menguntungkan atau menyenangkan; suatu tindakan yang secara objektif mutlak perlu pada dirinya sendiri, tanpa mengacu pada tujuan tertentu.11
Â
Karakter Pathos
Â
     Kata pathos berasal dari bahasa Yunani yang berarti 'rasa simpati' atau 'belas kasihan' atau yang menimbulkan rasa kasihan, simpati, sedih, dan sebagainya.12 Dengan kata lain,  kata pathos  sebenarnya mengacu pada  emotional bound atau ikatan emosional seorang manusia.
     Dalam konteks spiritualitas hakim MK, karakter  pathos dipahami sebagai kemampuan seorang hakim konstitusi mengelola dan mengembangkan hubungan emosional yang baik dengan para pihak. Hakim yang berkarakter pathos adalah hakim yang siap sedia (sikap dan kemampuan untuk selalu terbuka kapada tugas yang diberikan), totalitas (kemauan untuk mengerahkan seluruh potensi dan talenta dalam melaksanakan tugas yang diemban), cura personalis (memberi perhatian kepada setiap pribadi sebagai manusia), kerja keras dan bermutu (kemampuan untuk mencurahkan seluruh tenaga dan waktu serta potensi dirinya dalam melayani), sense of belonging (memiliki "rasa memiliki" atas segala hal yang mendukung tercapainya tujuan dari kewenangan yang diberikan kepadanya), rendah hati (walaupun memiliki kekuasaan, tetapi menempatkan orang lain lebih tinggi dan tindakan tangan untuk melayani para pihak), bijaksana (kemampuan untuk melihat ke dalam diri, memperhatikan kesempurnaan batin, dan menata gerak-gerik hati sehingga tidak silau akan kekayaan dan kekuasaan), dan memperjuangkan kebenaran (mengalahkan diri sendiri dengan segala keinginan egoistis yang diwarnai kegelapan, kemuraman, pertikaian, penipuan, ketidakjujuran).13
___________
Catatan Rujukan
Â
      1Bdk. Ulasan Tri Jata Ayu Pramesti, "Arti Putusan yang Final dan Mengikat"  dalam Hukumonline.com (Senin, 11 April 2016), https://www.hukumonline.com/klinik/a/arti-putusan-yang-final-dan-mengikat-lt56fe01b271988/, diunduh 19 Juli 2023.
     2Lihat Leo Kleden, "Teks, Ceritera, dan Transformasi Kreatif" dalam jurnal kebudayaan Kalam 10 (Jakarta, 1997), hal. 36.
     3Bdk. Pasha Nandaka dan Clara Moningka, "Spiritualitas: Makna dan Fungsi" dalam Buletin K-PIN (Vol.4 No.4, Februari 2018), https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/244-spiritualitas-makna-dan-fungsi, diunduh 21 Juli 2023.
      4Bdk. Yayasan Jadi Diri Bangsa, Membangun Kembali Jati Diri Bangsa (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2008), hal. 28.
      5Bdk. Wikipedia Ensiklopedi Bebas, Logos, https://id.wikipedia.org/wiki/Logos, diunduh 21 Juli 2023.
      6Lihat E Sumaryono, Etika Profesi Hukum: Norma-Norma bagi Penegak Hukum (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 110.
      7Bdk. Mudji Sutrisno, Getar-Getar Peradaban (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal. 158.
      8Bdk. Wikipedia Ensiklopedi Bebas, Ethos, https://id.wikipedia.org/wiki/Etos, diunduh 21 Juli 2023.
      9Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hal 271.
     10Bdk. E Sumaryono, Ibid, hal. 115.
     11Bdk. S P Lili Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris (Yogyakarta, Kanisius, 1991), hal. 72-75.
     12Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ibid, hal. 736.
     13Bdk. A Mintara Sufiyanta, Roh Sang Guru: Buku Saku Spiritualitas Guru Kristiani (Jakarta: Obor, 2011), hal. 70-91.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H