Mohon tunggu...
Pieter Sanga Lewar
Pieter Sanga Lewar Mohon Tunggu... Guru - Pasfoto resmi

Jenis kelamin laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dekonstruksi Simbol Peradaban: Merekonstruksi Peran Generatif Perpustakaan

25 November 2022   11:50 Diperbarui: 25 November 2022   12:08 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

         Tidak akan ada selisih paham jika dikatakan bahwa perpustakaan adalah kumpulan buku dan bibliotek (taman buku) yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mengakses informasi ilmu pengetahuan, teknologi, pengalaman kemanusiaan,  dan produk kebudayaan dalam proses memanusiakan  manusia  agar menjadi homo yang human (manusia yang berkebudayaan). Namun  demikian, dalam  bookless society (masyarakat tanpa banyak  buku cetak),  pengertian perpustakaan itu telah melebar ke ruang digital sebagai akibat melesatkan perkembangan teknologi  informasi yang menghadirkan jaringan  internet (pembentuk dunia maya atau dunia tanpa wujud).

         Terlepas dari pemahaman tradisional dan era digital (zaman now), hakikat  keberadaan perpustakaan masih dalam "simponi" yang sama, yaitu hominisasi dan humanisasi manusia. Kehadiran perpustakaan bertujuan   untuk membantu masyarakat, dalam berbagai usia, agar dapat: (1) mendidik dirinya sendiri secara berkesimbungan; (2) menanggapi  kemajuan berbagai ilmu pengetahuan, teknologi,  kehidupan sosial, budaya,  dan politik; (3) memelihara kemerdekaan berpikir yang konstruktif untuk menjadi anggota keluarga dan masyarakat yang lebih baik; (4)  mengembangkan kemampuan berpikir kreatif, rekreatif, membina rohani, dan  menghargai hasil seni serta budaya manusia; (5)    menjadi warga negara yang baik dan berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan nasional dan kesalingpengertian antarbangsa; (6)  menggunakan waktu senggang dengan baik agar bermanfaat bagi kehidupan pribadi dan sosial. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada selisih pendapat mengenai value judgement (pertimbangan nilai) tentang "eksistensi" perpustakaan.

         Persoalan akan muncul dan perbedaan paham akan terasa jika perpustakaan tidak sekadar dipahami memiliki value judgement, tetapi dihadapi sebagai kenyataan objektif. Sekali nilai itu diturunkan dari atas kepala dan direntang di hadapan mata, maka konsensus berakhir dan diskusi dimulai. Mengapa? Dalam memberikan reality judgement (pertimbangan kenyataan) tentang perpustakaan, setiap orang atau kelompok kepentingan akan mencari persepsinya, perspektif dipertegas, dan pendapat segera bersimpang jalan. Apa dan bagaimana perpustakaan sebagai realitas objektif? Bagaimana membongkar  simbol peradaban  perpustakaan untuk kemudian merekonstruksi peran genaratifnya dalam pembangunan budaya?

"Menara Gading" Perpustakaan

         Menyelusuri  "lorong-lorong"  historis perkembangan perpustakaan di Indonesia, pada  dasarnya, adalah "tapak tilas" gerak maju suatu peradaban manusia. Jika kita mengambil pendapat bahwa sejarah perpustakaan ditandai dengan dikenalnya tulisan, maka sejarah perpustakaan di Indonesia dapat dimulai pada tahun 400-an, yaitu saat lingga batu dengan tulisan Pallawa ditemukan pada zaman  Kerajaan Kutai. Selanjutnya, ada manuskrip keagamaan untuk kaum Brahmana di Kerajaan Tarumanegara;  manuskrip atau buku untuk Biksu di ibukota Kerajaan Sriwijaya; muncul pujangga istana yang menghasilkan berbagai karya sastra  pada zaman Kerajaan Mataram (Kuno);  muncul para empu pada zaman  Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari, dan Kerajaan Majapahit yang menuliskan berbagai karya sastra dan menciptakan artifak tertentu. Kegiatan penulisan dan penyimpanan naskah masih terus dilanjutkan oleh para raja dan sultan yang tersebar di Nusantara:  Kerajaan Demak, Banten, Mataram, Surakarta, Pakualaman, Mangkunegoro, Cirebon, Melayu, Jambi, Mempawah, Makassar, Maluku, dan Sumbawa.

         Perkembangan model  perpustakaan,  sebagaimana yang dikenal saat ini,  dimulai pada zaman Hindia Belanda (VOC). Muncul kemudian  perpustakaan kampus di Indonesia sekitar tahun  1920-an yang menyertai  berdirinya sekolah tinggi. Pada tahun 1962 Lembaga Kebudayaan Indonesia diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan namanya pun diubah menjadi Museum Pusat. Koleksi perpustakaannya menjadi bagian dari Museum Pusat dan dikenal dengan Perpustakaan Museum Pusat. Nama Museum Pusat ini kemudian berubah lagi menjadi Museum Nasional, sedangkan perpustakaannya dikenal dengan Perpustakaan Museum Nasional. Pada tahun 1980 Perpustakaan Museum Nasional dilebur ke Pusat Pembinaan Perpustakaan. Perubahan terjadi lagi pada tahun 1989 ketika Pusat Pembinaan Perpustakaan dilebur sebagai bagian dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. 

          Memang narasi historis perkembangan perpustakaan di Indonesia itu adalah sebuah pernyataan konstatif (pernyataan tentang fakta sebagaimana adanya) yang sifatnya deskriptif, yaitu menggambarkan sesuatu secara langsung tanpa penilaian apa pun. Teks historis itu hanya merekam tingkat kemajuan sebuah "peradaban" perpustakaan  yang terikat dalam ruang dan waktu. Di dalam teks historis  tersebut direntangkan reality judgement (realitas objektif)  perpustakaan sebagai  hasil budi daya dan tindakan praksis   manusia saat itu, yang mengonfigurasikan the cultured way (jalan berbudaya) memaknai peradaban manusia. Di sinilah, perpustakaan tampil sebagai simbol peradaban karena di balik apa yang disebut sebagai "perpustakaan"  itu tergelar ideas (kompleksitas ide, gagasan, nilai yang menuntun perilaku berpola manusia dalam kehidupan) dan activities (kegiatan manusia untuk mengekspresikan dirinya dalam berbagai cara dan bentuk).

           Namun demikian, reality judgement perpustakaan, yang  sudah diterima sebagai sebuah wacana (keseluruhan tutur yang merupakan satu kesatuan), membersitkan dialektik antara peristiwa dan arti.  Peristiwa hanya terjadi sekali,  ia muncul dan hilang; sedangkan arti dapat diidentifikasi, diulangi, ditafsirkan, diungkapkan dengan kata-kata berbeda atau diterjemahkan ke dalam  bahasa lain. Oleh karena itu, reality judgement perpustakaan, sebagaimana tergambar  di atas,  berpotensi mengandung beberapa tafsir korelatif-kontekstual yang problematis.

         Pertama, dunia perpustakaan masih terkungkung dalam sebuah "rezim" simbol peradaban suatu kelompok masyarakat. Jika rezim atau kekuasaan diartikan sebagai pola-pola relasi antarmanusia atau negara yang tidak seimbang, yang eksploitatif, dan yang represif, maka perkembangan dunia perpustakaan sangat dipengaruhi oleh kekuatan kekuasaan yang melingkupinya.  Perkembangan perpustakaan dan tujuan yang dibawanya harus berjalan seiring dengan kepentingan pihak yang memegang kendali tatanan kehidupan sosial. Misalnya, pada zaman Kerajaan Kediri, terdapat naskah tulisan tangan di atas  media daun lontar  yang dibuat untuk pembaca kalangan sangat khusus, yaitu kerajaan. Muncul kemudian beberapa pujangga dengan karya sastranya, seperti  Empu Sedah dan Empu Panuluh yang bersama-sama menggubah kitab Bharatayudha; Empu Panuluh juga menggubah kitab Hariwangsa dan kitab Gatotkacasrayya. Selain itu,  ada Empu Monaguna dengan kitab Sumanasantaka dan Empu Triguna dengan kitab Kresnayana.

         Sebagai sebuah "rezim",  perpustakaan (simbol peradaban) muncul sebagai distinction, yaitu strategi kekuasaan untuk membedakan diri dari kelas di bawahnya  sehingga berpotensi merusak harmoni sosial: mendiskreditkan kalangan bawah, bersikap istana sentris, dan muncul sikap "ABS" (asal bapa senang)  pada kaum kreator peradaban, seperti pujangga dan para empu.  Kalangan yang "berpustaka" dinilai sebagai yang memiliki peradaban meskipun realitasnya belum tentu merepresentasikan penilaian itu.

        Kedua, perpustakaan masih tampak sebagai "menara gading" peradaban. "Menara gading" berarti tempat atau kedudukan yang serba mulia, enak, dan menyenangkan atau tempat untuk menyendiri, misal tempat studi, yang memberi kesempatan untuk bersikap masa bodoh terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Walapun secara fisik jumlahnya di Indonesia sebanyak 164.610 (urutan kedua terbesar dunia setelah India), perpustakaan masih dirasakan berjarak dan terasing dari keberadaan rakyat kebanyakan; gambaran peradaban intelektual yang disandangnya seakan-akan  terputus dengan dunia kehidupan  praktis sehari-hari; bahkan, perpustakaan diresepsi  sebagai lingkungan yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri, bersifat  elitis atau ilmiah yang kecil manfaatnya bagi dunia nyata di sekitarnya.

          Eksplisitasi kedua tafsir problematis itu tidak dimaksudkan untuk mendegradasi fungsi perpustakaan sebagai simbol peradaban. Yang dituju adalah membangun intensionalitas baru secara reflektif tentang hakikat perpustakaan; ajakan kepada tindakan kembali ke diri sendiri (baca: perpustakaan)  sehingga subjek memahami diri dalam kejernihan  intelektual  dan dalam tanggung jawab sosial sebagai simbol peradaban.  Artinya, membangun dan meningkatkan kesadaran akan tugas pokok perpustakaan, yaitu mengembangkan masyarakat berpengetahuan (knowledge based society) melalui menyelenggarakan pengumpulan, penyimpanan, dan pelestarian terbitan Indonesia sebagai khazanah kebudayaan serta menjamin pemeliharaan terbitan Indonesia.

Peran Generatif Perpustakaan         

         Perpustakaan zaman now,  tidak bisa tidak,  harus keluar dari perspektif "simbol peradaban" supaya tidak terjadi krisis atau kemandekan atau impasse (jalan buntu) peradaban.  Selama perpustakaan dianggap sebagai simbol peradaban, selama itu pula muatannya (buku dan dokumen) diterima sebagai artifact (benda hasil kecerdasan manusia) yang sudah "final" dari sebuah  peradaban; bahkan cenderung dilihat sebagai produk budaya semata. Sudah saatnya perpustakaan (muatannya)  dilihat sebagai bahan  yang dipakai dalam proses penciptaan (kreasi) dan penciptaan kembali (rekreasi) peradaban. Dengan kata lain, perpustakaan tidaklah dihayati sebagai warisan, tetapi diterima sebagai tugas: ide harus dirumuskan kembali, tingkah laku harus disesuaikan kembali, dan benda-benda harus diolah kembali.

         Dengan demikian, buku dan dukumen  merupakan artifak  yang belum "final" karena harus dipakai sebagai bahan kreasi dan rekreasi dalam proses pemanusiaan manusia menuju masyarakat berkeadaban. Dalam konteks inilah perpustakaan harus tampil sebagai "generator" peradaban,  yang membangkitkan dan memacu literasi masyarakat pada semua tingkat dalam perspektif knowledge is power. Istilah literasi biasanya dipahami sebagai kualitas atau kemampuan melek huruf atau aksara yang di dalamnya termuat kemampuan membaca dn menulis teks. Namun, pada hakikatnya makna lietrasi lebih dari itu karena mencakup juga melek audio dan melek visual, yaitu kemampuan untuk mengenal dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual atau audio atau audio visual (adegan, video, gambar, informasi lisan). Artinya, konsep literasi lebih dari sekadar kemampuan baca tulis, tetapi kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan keterampilan yang dimiliki dalam praksis kehidupannya untuk mencapai kesadaran dan pemberdayaan diri.

         Hal ini berarti bahwa perpustakaan harus merekonstruksi peran generatifnya sehingga mampu mendiseminasi literasi kepada masyarakat Indonesia yang berada di seluruh wilayah Nusantara. Mengapa? Kondisi objektif menunjukkan bahwa kemampuan berliterasi peserta didik di Indonesia masih rendah. Berdasarkan hasil evaluasi lembaga internasional, seperti PISA (programme for International Student Assessment)  2009, disimpulkan bahwa kemampuan berliterasi baca peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 396 (skor rata-rata 493) dari 65 negera yang berpartisipasi; sedangkan PISA 2012 memposisikan peserta didik Indonesia pada peringkat ke-64 dengan skor 396 (skor rata-rata 496) dari 65 negara. Selain itu, hasil survei yang dilakukan oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) menunjukkan bahwa indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 yang berarti pada setiap 1.000 orang terdapat hanya satu orang yang mempunyai minat baca. Masyarakat Indonesia rata-rata membaca 0-1 buku per tahun dibandingkan dengan negara lain, misalnya penduduk Jepang membaca 10-15 buku per tahun.

        Di samping masih rendahnya literasi tekstual, masyarakat Indonesia masih sangat gagap dalam literasi digital. Dalam era masyarakat multimedia (cyber society), masyarakat Indonesia sudah terlanjur ramai-ramai menggunakan media sosial, tetapi belum tahu bagaimana membaca informasi yang benar. Berbeda dengan literasi tekstual, literasi digital membutuhkan kemampuan mengonformasi dan memverifikasi kebenaran dan sumber informasi sehingga hoaks (berita bohong) tidak terjadi dan menyebar.

         Dalam kaitan dengan rendahnya literasi tekstual dan digital, perpustakaan harus  mengambil peran out of the box   sehingga tidak terkesan  sebagai "rezim" atau "menara gading" peradaban. Perpustakaan tidak hanya berdiri dalam lingkungan atau instansi formal perkotaan, tetapi menyebar sampai ke desa-desa; tidak hanya diakses oleh kalangan tertentu, tetapi oleh semua warga negara Indonesia; tidak hanya perpustakaan konvensional, tetapi sudah saatnya membangun perpustakaan digital karena penggunaan internet terus berkembang dari waktu ke waktu.
  

________________

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun