Eksplisitasi kedua tafsir problematis itu tidak dimaksudkan untuk mendegradasi fungsi perpustakaan sebagai simbol peradaban. Yang dituju adalah membangun intensionalitas baru secara reflektif tentang hakikat perpustakaan; ajakan kepada tindakan kembali ke diri sendiri (baca: perpustakaan)  sehingga subjek memahami diri dalam kejernihan  intelektual  dan dalam tanggung jawab sosial sebagai simbol peradaban.  Artinya, membangun dan meningkatkan kesadaran akan tugas pokok perpustakaan, yaitu mengembangkan masyarakat berpengetahuan (knowledge based society) melalui menyelenggarakan pengumpulan, penyimpanan, dan pelestarian terbitan Indonesia sebagai khazanah kebudayaan serta menjamin pemeliharaan terbitan Indonesia.
Peran Generatif Perpustakaan     Â
     Perpustakaan zaman now,  tidak bisa tidak,  harus keluar dari perspektif "simbol peradaban" supaya tidak terjadi krisis atau kemandekan atau impasse (jalan buntu) peradaban.  Selama perpustakaan dianggap sebagai simbol peradaban, selama itu pula muatannya (buku dan dokumen) diterima sebagai artifact (benda hasil kecerdasan manusia) yang sudah "final" dari sebuah  peradaban; bahkan cenderung dilihat sebagai produk budaya semata. Sudah saatnya perpustakaan (muatannya)  dilihat sebagai bahan  yang dipakai dalam proses penciptaan (kreasi) dan penciptaan kembali (rekreasi) peradaban. Dengan kata lain, perpustakaan tidaklah dihayati sebagai warisan, tetapi diterima sebagai tugas: ide harus dirumuskan kembali, tingkah laku harus disesuaikan kembali, dan benda-benda harus diolah kembali.
     Dengan demikian, buku dan dukumen  merupakan artifak  yang belum "final" karena harus dipakai sebagai bahan kreasi dan rekreasi dalam proses pemanusiaan manusia menuju masyarakat berkeadaban. Dalam konteks inilah perpustakaan harus tampil sebagai "generator" peradaban,  yang membangkitkan dan memacu literasi masyarakat pada semua tingkat dalam perspektif knowledge is power. Istilah literasi biasanya dipahami sebagai kualitas atau kemampuan melek huruf atau aksara yang di dalamnya termuat kemampuan membaca dn menulis teks. Namun, pada hakikatnya makna lietrasi lebih dari itu karena mencakup juga melek audio dan melek visual, yaitu kemampuan untuk mengenal dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual atau audio atau audio visual (adegan, video, gambar, informasi lisan). Artinya, konsep literasi lebih dari sekadar kemampuan baca tulis, tetapi kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan keterampilan yang dimiliki dalam praksis kehidupannya untuk mencapai kesadaran dan pemberdayaan diri.
     Hal ini berarti bahwa perpustakaan harus merekonstruksi peran generatifnya sehingga mampu mendiseminasi literasi kepada masyarakat Indonesia yang berada di seluruh wilayah Nusantara. Mengapa? Kondisi objektif menunjukkan bahwa kemampuan berliterasi peserta didik di Indonesia masih rendah. Berdasarkan hasil evaluasi lembaga internasional, seperti PISA (programme for International Student Assessment)  2009, disimpulkan bahwa kemampuan berliterasi baca peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 396 (skor rata-rata 493) dari 65 negera yang berpartisipasi; sedangkan PISA 2012 memposisikan peserta didik Indonesia pada peringkat ke-64 dengan skor 396 (skor rata-rata 496) dari 65 negara. Selain itu, hasil survei yang dilakukan oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) menunjukkan bahwa indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 yang berarti pada setiap 1.000 orang terdapat hanya satu orang yang mempunyai minat baca. Masyarakat Indonesia rata-rata membaca 0-1 buku per tahun dibandingkan dengan negara lain, misalnya penduduk Jepang membaca 10-15 buku per tahun.
    Di samping masih rendahnya literasi tekstual, masyarakat Indonesia masih sangat gagap dalam literasi digital. Dalam era masyarakat multimedia (cyber society), masyarakat Indonesia sudah terlanjur ramai-ramai menggunakan media sosial, tetapi belum tahu bagaimana membaca informasi yang benar. Berbeda dengan literasi tekstual, literasi digital membutuhkan kemampuan mengonformasi dan memverifikasi kebenaran dan sumber informasi sehingga hoaks (berita bohong) tidak terjadi dan menyebar.
     Dalam kaitan dengan rendahnya literasi tekstual dan digital, perpustakaan harus  mengambil peran out of the box  sehingga tidak terkesan  sebagai "rezim" atau "menara gading" peradaban. Perpustakaan tidak hanya berdiri dalam lingkungan atau instansi formal perkotaan, tetapi menyebar sampai ke desa-desa; tidak hanya diakses oleh kalangan tertentu, tetapi oleh semua warga negara Indonesia; tidak hanya perpustakaan konvensional, tetapi sudah saatnya membangun perpustakaan digital karena penggunaan internet terus berkembang dari waktu ke waktu.
 Â
________________
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H