Mohon tunggu...
Pieter Sanga Lewar
Pieter Sanga Lewar Mohon Tunggu... Guru - Pasfoto resmi

Jenis kelamin laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Quo Vadis Pembelajaran Bahasa Indonesia?

27 Oktober 2022   11:22 Diperbarui: 27 Oktober 2022   12:28 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak  ada keraguan konsepsional untuk mengatakan bahwa bahasa Indonesia mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. 

Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia dipakai dalam pergaulan dan perhubungan antarwarga negara secara nonresmi, santai, dan bebas karena yang dipentingkan adalah ketersampaian makna. 

Sebaliknya, sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia dipakai dalam situasi resmi dengan memperhatikan kaidah berbahasa dan kebakuan kata.

Namun, ketegangan reseptif akan muncul ketika kedua fungsi bahasa itu dihubungkan dengan praktik pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah (tingkat dasar dan menengah).   

Di satu sisi, pembelajaran bahasa Indonesia harus memampukan peserta didik untuk berkomunikasi secara kontekstual (tuntutan bahasa nasional). Di sisi lain, pembelajaran bahasa Indonesia harus memperkuat penguasaan kaidah bahasa (tuntutan bahasa negara).

Persoalan yang menarik dibentangkan adalah bagaimana memposisikan praktik pembelajaran bahasa yang mampu menjembatani kedua sisi tersebut sehingga peserta didik memiliki keseimbangan fungsional antara pengetahuan berbahasa dan keterampilan berbahasa?

Kecenderungan Pragmatis

Setelah muatan Kurikulum 1984 bidang pengajaran bahasa Indonesia dikritik para ahli bahasa  karena terlalu gramatikal sentris (grammatical competence), sejak Kurikulum 2004 (dengan "turunannya" Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006 (KTSP) sampai dengan Kurikulum 2013 (dengan "turunannya" Kurikulum Merdeka  2022)  titik tohok pembelajaran bahasa Indonesia diletakkan pada pengembangan kemampuan komunikatif (communicative competence) peserta didik. 

Kemampuan gramatikal (kemampuan untuk membentuk satuan-satuan bahasa sesuai dengan aturan tata bahasa) "turun kelas"  dan diganti dengan kemampuan komunikatif (kemampuan untuk memilih dan menggunakan satuan-satuan bahasa sesuai dengan konteks (Bdk. Madyasusanta, 1986: 1). Artinya, bahasa yang dipakai dalam masyarakat (bahasa nasional) seharusnya diajarkan kepada peserta didik.

Kecenderungan pragmatis ini dapat terbaca dalam Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. 

Standar kompetensi lulusan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup empat kompetensi. Pertama, kompetensi mendengarkan: memahami wacana lisan dalam kegiatan wawancara, pelaporan, penyampaian berita radio/tv, dialog interaktif, pidato, khotbah/ceramah, dan pembacaan berbagai karya sastra berbentuk seperti puisi, prosa, dan drama. 

Kedua, kompetensi berbicara: menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, pengalaman, pendapat, dan Komentar dalam kegiatan wawancara, presentasi laporan, diskusi, protokoler, dan pidato, serta dalam berbagai karya sastra seperti puisi, prosa, dan drama. 

Ketiga, kompetensi membaca: menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami berbagai bentuk wacana tulis dan berbagai karya sastra seperti puisi, prosa, dan drama dari berbagai angkatan. 

Keempat, kompetensi menulis: melakukan berbagai kegiatan menulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk buku harian, surat pribadi, pesan singkat (memo) laporan, surat dinas, petunjuk, rangkuman, teks berita, slogan, poster, iklan baris, resensi, karangan, karya ilmiah sederhana, pidato, surat pembaca,  dan berbagai karya sastra berbentuk puisi, prosa, dan drama.

Muatan kurikulum bahasa Indonesia tingkat dasar dan menengah  seperti  itu mengubah orientasi pembelajaran bahasa Indonesia: dari penguasaan kaidah berbahasa kepada penggunaan bahasa dalam komunikasi. 

Yang penting, menurut Soepomo (1987: 6), adalah "... students should know several ways to express the same meaning. The same meaning with different nuances may involve different means of expression."  Hal ini berarti  bahwa "Language in real communication is used to command, to describe, to request, to agree, and to report (Johnson, 1982: 106).

Pergeseran orientasi pembelajaran bahasa Indonesia memang dibutuhkan agar pembelajaran bahasa Indonesia mampu mengembangkan kompetensi  dan kreativitas berbahasa peserta didik. 

Namun, pergeseran itu jangan menanamkan konsep pembelajaran bahasa Indonesia  yang keliru: (1) yang penting isinya dipahami, bukan benar tidaknya; (2) buat apa belajar bahasa Indonesia karena tanpa belajar pun semua orang Indonesia dapat berbahasa Indonesia; (3) pembelajaran tata bahasa (kaidah berbahasa) sudah tidak relevan dengan tuntutan perubahan zaman; dan (4) bahasa Inggris lebih bergengsi daripada bahasa Indonesia.

Catatan penting yang perlu dikemukakan di sini bahwa pergeseran orientasi pembelajaran bahasa Indonesia tidak serta-merta meniadakan pembelajaran kaidah atau konsep dasar berbahasa sebagaimana tampak dalam standar kompetensi lulusan yang telah dipaparkan di atas. 

Kaidah atau konsep dasar berbahasa memang bukan untuk dihafalkan,  tetapi dibutuhkan peserta didik sebagai pedoman untuk mengembangkan keempat keterampilan berbahasa. 

Pembelajaran  kaidah berbahasa itu dapat dilakukan dengan pola pembelajaran   induktif atau deduktif  tergantung pada materi pembelajaran dan kreativitas kondisional peserta didik dan guru. Seorang guru seharusnya tidak terjebak dalam anggapan umum bahwa pola pembelajaran yang baik adalah hanyalah  induktif atau deduktif.

Pendekatan Kontekstual 

Pendekatan kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep pembelajaran yang mengaitkan antara materi yang dibelajar-kan dengan situasi nyata peserta didik dan mendorongnya untuk membuat garis hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. 

Dalam hal ini tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Artinya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi (Depdiknas, 2002: 1-2).

Pendekatan kontekstual mendasarkan kegiatan pembelajaran pada bebe-rapa kecenderungan berikut. Pertama, pembelajaran tidak sekadar menghafal tetapi peserta didik harus dimampukan untuk mengkonstruksi pengetahuan yang dimilikinya. 

Peserta didik  belajar untuk mengalami karena pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah tetapi mencerminkan keterampilan kohesif  yang dapat diterapkan. Kedua, peserta didik harus tahu makna pembelajaran dan menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang diperolehnya untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. 

Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit. Ketiga, siswa ditempatkan sebagai pembelajar dan guru bertugas memfasilitasi aktivitas pembelajaran agar informasi  itu bermakna serta memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-idenya sendiri. 

Keempat, lingkungan belajar yang baik  dimulai dari kegiatan belajar yang terpusat pada siswa. Siswa aktif belajar dan guru hanya menggerakkan aktivitas siswa tersebut (Depdiknas, 2002: 3-5).

Pendekatan kontekstual memiliki tujuh komponen utama, yaitu kontruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment). Penerapan pendekatan ini dalam pembelajaran dapat mengacu pada langkah-langkah berikut.

Pertama, kembangkan pemikiran bahwa peserta didik akan belajar lebih bermakna dengan cara berkerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruk-sikan sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang diperolehnya. 

Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Hal ini berarti bahwa pembelajaran harus dikemas menjadi proses 'mengkonstruksi' bukan 'menerima' pengetahuan. 

Tugas guru adalah memfasilitasi proses pembelajaran dengan (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa, (2) memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan (2) menyadarkan siswa agar selalu menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar karena pengetahuan dan keterampilan senantiasa tumbuh dan berkem-bang melalui pengalaman.

Kedua, kembangkan semaksimal mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa bukanlah hasil 'mengingat' seperangkat fakta tetapi hasil dari 'menemukan' sendiri. 

Langkah-langkah kegiatan menemukan (inkuiri) mencakup (1) merumuskan masalah, (2) mengamati dan melakukan observasi, (3) menganalisis dan menyajikan hasil temuannya dalam berbagai bentuk seperi tulisan, laporan, gambar, dan tabel, (4) mengkomunikasikan hasil temuannya kepada teman sekelas dan guru atau kepada orang lain.

Ketiga, bangkitkan dan kembangkan sifat ingin tahu siswa melalui kegiatan bertanya. Pengetahuan yang dimiliki siswa selalu dimulai dari 'bertanya' untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah dike-tahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui. 

Dalam pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk (1) menggali informasi, (2) mengecek pemahaman siswa, (3) membangkitkan respon kepada siswa, (4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, (5) mengetahui hal-hal yangsudah diketahui siswa, (6) memfokuskan perhatian siswa kepada sesuatu yang dikehendaki guru, (7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, dan (8) menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

Keempat, ciptakan kondisi 'masyarakat belajar'  yang mendorong siswa untuk belajar dalam kelompok-kelompok karena hasil pembelajaran yang diperoleh dari kerja sama dengan orang lain akan jauh lebih bertahan dalam ingatan siswa.  

Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok belajar yang anggotanya heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, dan yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat.

Kelima, hadirkan model sebagai contoh pembelajaran. Dalam pendekat-an kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Pemodelan dapat dirancang de-ngan melibatkan siswa. 

Seorang siswa dapat ditunjuk untuk memberi contoh ke-pada temannya. Model pun dapat didatangkan dari luar lingkungan sekolah atau kelas untuk menampilkan atau memperagakan pembelajaran suatu materi sehingga merangsang minat siswa.

Keenam, lakukan refleksi pada akhir setiap pembelajaran. Refleksi meru-pakan  cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan. 

Guru menyisakan waktu agar siswa me-lakukan  refleksi berupa (1) pernyataan langsung tentang apa yang diperolehnya pada pembelajaran itu, (2) catatan atau jurnal di buku siswa, (3) kesan dan saran siswa tentang pembelajaran di hari itu, (4) diskusi, dan (5) hasil karya.

Ketujuh, lakukan penilaian yang sebenarnya (seaslinya) dengan berbagai model penilaian. Penilaian merupakan proses pengumpulan berbagai data yang dapat memberi gambaran perkembangan pembelajaran siswa. 

Oleh karena itu, data yang dikumpulkan harus berasal dari kegiatan nyata siswa yang dikerjakan pada saat melakukan proses pembelajaran. Penilaian autentik terhadap siswa mempunyai beberapa karakteristik, yaitu (1) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran, (2) digunakan untuk formatif atau sumatif, (3) yang diukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta, (4) penilaian berkesinam-bungan, (5) penilaian bersifat integratif, dan (6) dapat digunakan sebagai umpan balik. 

Hal-hal yang dapat digunakan sebagai dasar penilaian autentik adalah proyek atau kegiatan dan laporan, pekerjaan rumah (PR), kuis, karya siswa, presentasi atau penampilan siswa, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes tertulis, dan karya tulis. Penilaian autentik akan mendatangkan objektivitas yang menguntungkan siswa dan sekaligus sebagai cermin kejujuran guru dalam menilai siswa (Depdiknas, 2002: 10-20).

Apa pun pendekatan yang dipilih, pembelajaran bahasa Indonesia tidak boleh "menganakemaskan" kompetensi komunikatif dan "menganaktirikan" kompetensi gramatikal atau sebaliknya. Ketika hanya kompetensi komunikatif yang dipentingkan, hasil pembelajaran bahasa Indonesia akan menjadi "datar" karena tidak didasari oleh konsep berbahasa yang kuat;  peserta didik akan menjadi "plagiator-plagiator"  berbahasa yang tampak hebat. 

Demikian juga, jika kompetensi gramatikal yang dipentingkan, hasil pembelajaran bahasa Indonesia tidak "membumi" dan terasa kering karena peserta didik  sekadar memahami konsep berbahasa secara komprehensif tanpa kemampuan menerapkan konsep  itu dalam tindak berbahasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun