Mohon tunggu...
Pieter Sanga Lewar
Pieter Sanga Lewar Mohon Tunggu... Guru - Pasfoto resmi

Jenis kelamin laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Core Values ASN: Melayani Bangsa

9 September 2021   08:00 Diperbarui: 9 September 2021   09:10 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), Selasa (27/7/2021) telah menyelenggarakan peluncuran "Core Values dan Employer Branding ASN" secara daring. Dalam kegiatan tersebut, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa pada saat ini aparatur sipil negara (ASN) dituntut mampu berkolaborasi lintas organisasi, daerah, ilmu, dan profesi. ASN juga harus mempunyai orientasi yang sama, yaitu memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat (Kompas, 28/7/2021).

Secara tersirat, pesan Presiden itu  seolah membuka "selubung wajah bopeng"  yang masih melekat pada birokrasi Indonesia. Walaupun gerakan reformasi birokrasi sudah lama digalakkan, adaptasi kolaboratif dan inovatif sebagian birokrat  masih  tersengat mental priayi zaman kolonial. Mereka lebih mementingkan kedudukan dalam percaturan politik dan asyik menyusun rencana tindakan yang mendatangkan rezeki atau keuntungan politik. 

Birokrasi semacam itu telah menciptakan kaum birokrat yang arogan, yang mempersulit urusan warga negara dengan rasionalisasi 'setia pada hukum dan aturan yang berlaku'. Birokrat berlagak seperti orang yang paling penting, yang tanda tangannya dibutuhkan rakyat kecil sehingga mereka dengan seenaknya meminta "amplop" jasa. Mereka yang digaji dengan pajak rakyat tidak menjalankan fungsinya secara  baik dan benar. Sebaliknya, mereka menjadi "tuan" yang terpaksa dilayani rakyat; bahkan mereka tidak memiliki empati sedikit pun terhadap penderitaan rakyat kecil.

Peluncuran core values ASN itu  menandakan juga bahwa gerakan  reformasi birokrasi perlu terus "disegarkan" agar memiliki efek  implementatif yang sejalan dengan tujuan pembangunan  bangsa Indonesia. Reformasi birokrasi merupakan perubahan radikal atas alur dan sistem kerja pemerintahan yang berkemampuan akomodatif terhadap kepentingan umum (rakyat). 

Memang disadari bahwa birokrasi senantiasa dilengkapi dengan kekuasaan dan kewenangan (otoritas) yang digunakan untuk menjalankan kebijakan umum dan untuk mengatur sumber-sumber  yang ada melalui cara yang persuasif dan koersif. Namun, birokrasi juga dilengkapi  dengan tanggung jawab politis, yaitu mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri atau kelompok sehingga tercipta kesejahteraan bersama bagi seluruh rakyat.

Dalam kerangka kepentingan umum dan kesejahteraan bersama itulah, reformasi dibutuhkan untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia aparatur. "Muara" reformasi birokrasi adalah terbentuknya karakter birokrat yang bermartabat dalam pemerintahan yang bersih dari KKN, akuntabel, berkinerja, dan pelayanan publik yang berkualitas. Salah satu karakter utama refomasi birokrasi adalah reformasi etos kerja pelayanan masyarakat. 

Reformasi etos kerja ini merupakan reformasi sumber daya manusia aparatur yang pada hakikatnya dibangun atas value judgement tentang sebuah kerja. Semakin tinggi dan komprehensif tangkapan seseorang terhadap sistem makna dan nilai suatu kerja, maka semakin tinggi pula implementasi etos kerja pelayanan dalam praksisnya. 

Artinya, aktivitas kerja bukanlah semata-mata sebuah persoalan ekonomis, tetapi juga tindakan khas manusia untuk mengobjektivikasi diri ke dalam alam melalui bakat dan kemampuannya serta  sekaligus mewujudkan sifat sosial kemanusiaan. Ada aspek moral, etika, dan spiritual yang terkandung dalam suatu aktivitas kerja.

Hal ini menegaskan bahwa menjadi birokrat (apartur negara) bukanlah suatu "perantauan" ekonomis semata, yang hanya melihat kerja sebagai aktivitas untuk mengisi kekurangan dimensi memiliki (having), tetapi "panggilan hidup untuk melayani", yang melihat kerja sebagai proses penyempurnaan hidup manusia atau dimensi ada (being). Panggilan hidup sebagai birokrat mengurai beberapa signifikasi dasar aktivitas kerja sebagai pelayanan.

Pertama, kaum birokrat sebagai abdi negara dan abdi masyarakat harus mampu menimbang tindakannya, keputusannya, dan memilih pilihan yang terbaik menurut nuraninya, baik untuk diri sendiri maupun untuk sesama, manakala naluri menguasai "mengintai" kepentingan bangsa. Ia harus mampu mengambil jarak, mampu menyangsikan, mampu bertanya, dan mencoba menjawab persoalan kema-nusiaan yang muncul dalam pelaksanaan tugasnya.

Kedua, kaum birokrat harus berdialektika dengan nilai-nilai kehidupan sesuai dengan perkembangan eksplorasi pikiran dan tatanan zaman; yang benar dikatakan benar, yang salah dikatakan salah. Jangan sampai kebenaran diperjualbelikan hanya untuk seonggok kepentingan diri atau kelompok.

Ketiga, kaum birokrat harus dapat mengolah kritik yang berasal dari masyarakat yang dilayaninya. Kritik merupakan cermin untuk melihat kedewasaan pikiran dan perasaan  dalam mengaktualisasikan peranannya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Di dalam kritik terdapat "bangunan" dialog yang demokratis, budaya egaliter, dan kesehatan pola pikir sebagai wujud dari kebersamaan sebagai bangsa. 

Tujuan akhir dari reformasi birokrasi adalah membangun kultur birokrat yang bermartabat: bersih dari KKN, akuntabel dan berkinerja, serta pelayanan publik yang prima. Kultur birokrat yang bermartabat adalah birokrat yang menempatkan manusia, warga negara, dan nilai kemanusiaan pada titik edar roda birokrasi. 

Dengan berada dalam birokrasi, birokrat terus belajar bagaimana mempraksiskan hidup yang baik sehingga mereka dapat melakukan apa yang perlu dilakukan untuk mendukung tatanan sosial dan politik yang melingkupinya. Reformasi birokrasi harus "dialamatkan" pada proses pemanusiaan manusia dengan melihat faktor-faktor objektif yang terdapat  dalam bentuk-bentuk interaksi manusia warga negara sehingga tidak terjadi pelibasan sisi kemanusiaan manusia dan dunia sekitarnya.

Kultur birokrat yang bermartabat memiliki beberapa ciri khas. Pertama, birokrasi dilaksanakan dalam perspektif humanisme. Artinya, birokrasi yang menempatkan seluruh proses birokrasi pada penghargaan manusia sebagai yang bernilai lebih tinggi daripada benda-benda duniawi. Birokrat yang menentang segala tindakan inhuman: kesewenang-wenangan, main tangkap dan menyiksa orang, intimidasi, dan diskriminasi.

Kedua, birokrasi yang selalu mempertaruhkan harga sebuah sikap hormat di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Artinya, memberi ruang hidup bagi yang berbeda, bagi "cita rasa" yang bukan milik kita, dan bagi kemajemukan.

Ketiga, birokrat yang menempatkan kejujuran bukan sekadar sebagai tuntutan moral, melainkan tuntutan rasionalitas politik. Perlu ditinggalkan anggapan bahwa demi mencapai dan mempertahankan kekuasaan dan otoritas, seorang birokrat tidak perlu mempertimbangkan kesetiaan, kejujuran, dan fairness.

Pada akhirnya, reformasi birokrasi tidak berhenti pada persoalan birokrasi an sich. Reformasi birokrasi pada dasarnya membentuk "realitas" ber-Indonesia yang baru: pemerintahan yang efisien dan efektif, sumber daya aparatur yang kompeten dan kompetitif, pemerintahan yang partisipatif dan melayani, serta terbuka dan berbasis teknologi.            

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun