Mohon tunggu...
Pieter Sunkudon
Pieter Sunkudon Mohon Tunggu... Dosen - lecture, pastor, evangelist

berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penatalayanan Uang

2 Oktober 2019   00:23 Diperbarui: 2 Oktober 2019   00:43 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pendahuluan

Seorang penulis artikel, Benyamin Simbolon menuliskan "Uang adalah wujud yang nyata dari pembelanjaan kehidupan itu sendiri. Ada orang yang mengatakan bahwa uang itu adalah hidup yang sudah terkemas dalam paket yang mudah ditangani, disimpan dan dipakai." (https://bennyaminsimbolon.wordpress.com/2009/09/01/penatalayanan-uang/). Menurut saya pernyataan ini benar, sebab setelah kita bekerja, menghabiskan waktu, tenaga, dan buah pikiran kita maka berubahlah semua itu dalam bentuk uang (Ini terjadi apabila kita benar-benar bijaksana dalam mengatur hidup untuk mendapatkan uang itu. Lihat prinsip penatalayanan di bidang lainnya).

Jika kita setuju dengan logika di atas, maka kitapun dapat menyimpulkan bahwa, uang kita dapat mewakili hidup kita. Ini sejalan dengan pernyataan Paulus kepada jemaat Filipi dalam Surat Filipi 4:10   "10 Aku sangat bersukacita dalam Tuhan, bahwa akhirnya pikiranmu dan perasaanmu bertumbuh kembali untuk aku. Memang selalu ada perhatianmu, tetapi tidak ada kesempatan bagimu." Jadi kesempatan yang tidak dimiliki jemaat Filipi untuk memberitakan Injil telah digantikan dengan uang yang mereka kirimkan untuk mendukung pemberitaan Injil oleh Paulus.

 Dengan kata lain, ketika kita mempersembahkan uang kita kepada Allah, maka itu dapat mewakili hidup kita di hadapan-Nya. Apakah ini dapat berarti bahwa hidup pemberian Tuhan kepada kita dapat diganti atau dibalas dengan uang? Tentu tidak demikian. Tak seorangpun dapat mengganti pemberian Allah padanya, dengan cara apapun. Apalagi jika berbicara tentang pengorbanan Kristus di kayu salib itu. Sungguh tidak ada yang dapat kita lakukan untuk membalas itu. Namun di sini kita sedang berbicara tentang bagaimana seseorang mengatur milik Allah yang dipercayakan kepada kita.

Mengasilkan Uang

Dalam Kejadian 1:28 kita melihat bagaimana Allah memberikan perintah kepada manusia untuk mengelola bumi, itulah tugas mereka. Pekerjaan ini menjadi berat setelah manusia jatuh dalam dosa (Kej. 3:19). Penulis Amsal berkata, 

6 Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak:  7 biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya,  8 ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen.  9 Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring? Bilakah engkau akan bangun dari tidurmu?  10 "Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring"  11 maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata (Ams. 6:6-11).

Pauluspun dengan tegas berkata,

"10 Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.  11 Kami katakan ini karena kami dengar, bahwa ada orang yang tidak tertib hidupnya dan tidak bekerja, melainkan sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna (2 Tes. 3:10-11).

Di sini kita melihat bahwa, bekerja dan menghasilkan sesuatu bukanlah hal yang dilarang oleh Tuhan. Malah setiap individu haruslah bekerja keras untuk mendapatkannya. Tetapi kitab Pengkhotbah mengingatkan kita agar tidak menjadi "penjaring angin di bawah matahari." Bagaimana ini dapat terjadi? Tatkala kita lupa diri dan melupakan sang Pemberi hidup. Sekarang, jika uang akhirnya menjadi tujuan utama, yang menguasai totalitas manusia, maka manusia itu telah menjadi "penjaring angin" itu

Menatalayani Uang

Paulus, dalam Filipi 4:11-13 berkata,

11 Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan.  12 Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan.  13 Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.

Setelah menerima kiriman uang dari jemaat Filipi, Paulus dalam ucapan terima kasihnya menegaskan bahwa, pemberian mereka telah membantunya dalam pemberitaan Injil, dan bertanggung jawab dengan setiap dana di tangannya telah menjadi pola hidupnya. Dia mengatur keuangannya agar dapat tepat guna, sehingga baik itu melimpah maupun pas-pasan, tetaplah cukup dan bersyukur.

Karena sifat "pelupanya" maka manusia harus selalu diingatkan bahwa, apa yang telah berhasil dikumpulkannya di dunia ini adalah milik Tuhan, yang harus digunakan sebaik mungkin demi kepentingan & kemuliaan-Nya. Manusia haruslah terus-menerus belajar untuk mengatur uangnya seperti yang dilakukan Paulus.

Bijaksana dalam mengatur keuangan dapat menghindarkan kita dari malapetaka. Salah satu petaka yang paling dekat adalah terlilit hutang. Berapa banyak kabar yang sudah kita dengar tentang hal ini? Bagaimana dampaknya terhadap kehidupan seseorang? Cukup mengerikan. Ada berita baru-baru ini, tentang seorang pendeta yang meninggal, bunuh diri karena tak sanggup menanggung beban psikologi, oleh sebab terlilit hutang. Memang kita tidak boleh terlalu cepat menjustifikasi kasus ini, dan berkata bahwa sang pendeta tidak bijaksana, sebab ada seribu satu alasan seseorang berhutang, namun ini tentu dapat menjadi pengingat yang keras bagi orang percaya tentang uang.

Melonggarkan Genggaman Terhadap Uang

Menyambung kisah sang pendeta di atas, ada sisi lain yang perlu untuk direnungkan, yakni, jika benar sang pendeta itu mengakhiri hidupnya karena terlilit hutang, di manakah keluarganya? Saudara-saudaranya seiman? Jemaat yang dilayaninya? Dimanakah rekan-rekan pelayanannya? Dimanakah mereka yang mengaku sebagai sesama keluarga Allah?

Inilah fakta yang dapat kita temui di mana-mana. Bahwa betapa akutnya sifat egois manusia itu. Setelah dianugerahi kesehatan untuk bekerja dan menghasilkan, seringkali mereka lupa kepada Sang Pemberi. Sekarang mereka terfokus kepada dirinya sendiri dan tak acuh terhadap kanan kiri.

Jadi kemalasan mungkin dapat menjadi penghambat seseorang melakukan tanggung jawab untuk bekerja dan menghasilkan uang, namun ujian yang paling besar di sini adalah bukan pada saat seseorang berusaha mengumpulkan uang dalam pundi-pundinya, tetapi setelah pundi-pundi itu terisi. Sebab sifat egois telah tertanam dalam diri manusia sejak lama. Bukan hanya ia hendak melebihi orang lain, lebih dari itu ia hendak melebihi Allah. Ini terjadi karena manusia telah menjadi sekutu Iblis sejak lama, padahal Iblis sendiri tidak pernah benar-benar menjadi sekutu manusia (Kej. 3).

Sifat egois ini membuat manusia seringkali kesulitan untuk menyadari bahwa segala sesuatu yang digenggamnya sesungguhnya adalah milik Tuhan. Dan di sinilah Tuhan menjadi geram kepada umat yang merengek-rengek dan berbantah dengan Tuhan, padahal mereka lupa diri. Fakta seperti ini dapat kita baca dalam Maleakhi 3:8-18.

Dalam teks Maleakhi 3:8-18, kita dapat melihat ada empat hal penting. Pertama, Orang Israel tidak membawa persepuluhan dan persembahan khusus. Dan mereka disebut sebagai "penipu." Kedua, ada kutuk yang disebabkan oleh kelalaian mereka. Ketiga, Tuhan menjanjikan berkat bagi mereka yang membawa persembahan-persembahan itu. Dan keempat, tujuan dari persembahan-persembahan itu adalah untuk pelayanan di Bait Allah, yang juga akan disalurkan kepada umat lain yang membutuhkan, sehingga pemerataan dapat terjadi. Disinilah guna sebuah persekutuan menjadi nyata.

Pada prinsipnya, Tuhanlah Pemilik segala sesuatu, Ia ingin kita memuliakan Dia dengan segala yang ada pada kita. Dan berhubungan dengan uang, tentulah Tuhan sangat paham bahwa kita memiliki begitu banyak kebutuhan dalam mejalankan misi-Nya di dunia ini, jadi Ia memberkati kita sesuai rahmat-Nya, namun Dia juga membuat sebuah sistem tentang bagaimana cara kita dapat menggunakan uang kita untuk menjadi alat kemuliaan-Nya.

Mungkin orang akan bertanya, berapa banyak yang harus saya persembahkan untuk Tuhan? Jawaban di sini bukanlah soal jumlah uangnya, tetapi mari hitung berapa persen dari penghasilan kita, kita serahkan untuk kepentingan Tuhan. Idealnya ialah, kita menggunakan seluruh penghasilan kita untuk kepentingan Tuhan. Namun apabila hal itu terasa terlalu berat, mari mulai dengan sepersepuluh dari perolehan kita.

Dalam Markus 12:41-44, Tuhan Yesus memuji seorang janda miskin yang mempersembahkan dua peser. Alasannya ialah, karena "janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." Tentulah kisah ini dapat menjadi motivasi bagi setiap orang yang berpenghasilan lebih dari itu.            

Penutup

 Mengenai uang, Tuhan Yesus berkata, "24 Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." (Mat. 6:24). Namun di bagian lain Iapun menyampaikan sesuatu yang bersifat paradoks,

9 Dan Aku berkata kepadamu: Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi."  10 "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.  11 Jadi, jikalau kamu tidak setia dalam hal Mamon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya?  12 Dan jikalau kamu tidak setia dalam harta orang lain, siapakah yang akan menyerahkan hartamu sendiri kepadamu?  13 Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." (Luk. 16:9-13)

Pada akhirnya semua yang telah kita peroleh di dunia ini akan ditinggalkan. Itu pasti terjadi. Namun kita dapat mengivestasikan semua itu di kekekalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun