Ah wajar saja, karena kebanyakan orangtua cenderung menyalahkan dan menasehati, padahal yang anak-anak butuhkan hanya didengar dan didukung.
"Ok, apa perasaanmu akan kejadian ini?"
"Nggak mau terulang,bu."
"Caranya?"
"Aku akan bersama-sama adik selama bersepeda dan tidak terlalu jauh."
"OK, sami'na wa a'tokna ya." Ia pun tersenyum paham, karena kata-kata itu adalah trade mark ku (kalau tak boleh dibilang doktrin) dalam mengajar siswa didikku. Dan kamipun berpisah.
Dalam perjalanan pulang, aku berandai-andai:
Seandainya tembok-tembok tinggi komplek perumahan tidak menjadi penghalang silaturahmi, seandainya kita saling peduli dengan tetangga, mungkin lingkungan akan lebih ramah untuk anak-anak, mungkin mereka tidak perlu terpenjara dalam rumahnya, dalam clusternya.
Seandainya orangtua mau mendengarkan anak-anaknya, tidak banyak nasehat, aturan dan batasan, anak-anak akan mudah belajar mendengarkan bukan menyalahkan.
Seandainya orangtua selalu mengucapkan "aku cinta padamu, nak," anak-anak akan mudah belajar mencintai dan menghargai setiap makhluk.
Seandainya orangtua selalu mengunggkapkan "aku bangga padamu, nak," dan menggatakan pengharapan kita pada mereka, mereka tidak akan gengsi untuk mengatakan hal yang sama pada kita dan berani bermimpi lebih tinggi lagi.