Sore ini seorang anak kelas 2 SD sesenggukan di depan rumahku, kegundahan tampak jelas di sorot matanya. " Bu, adikku hilang! hu..hu..hu," ia kakak dari murid TK ku. Usut punya usut ternyata tadi mereka bersepeda bersama dan entah bagaimana mereka terpisah. Si kakak takut adiknya hilang (atau takut dimarahi orangtuanya? entahlah.)
"Ok, ibu bantu cari, asal kau berhenti menangis," ia mengangguk setuju. Tapi tetap saja disepanjang pencarian bukannya berhenti, tangisnya malah menjadi. "Ok, kau pulang, beri tahu ibumu, ceritakan keadaan sebenarnya dan ibu akan terus cari adikmu, karena ibu tidak suka melihat kau menangis," lagi-lagi ia mengangguk.
Tak berapa lama kutemukan adiknya asik bersepeda sendiri dan kubawa pulang. Sang kakak ternyata hanya mematung didepan rumahnya, melihat kehadiran kami ia menghambur memeluk adiknya yang tak mahfum dengan kejadian saat itu.
Penasaranku muncul ketika kulihat sang kakak masih saja menagis.
"Adik sudah ketemu, kenapa masih menangis?"
"Saya masih takut, bu."
"Apa yang kau takutkan?"
"Saya takut, kalau adik diculik, dijual ke orang lain atau dijadikan pengemis seperti yang saya tau di TV TV."
Ah ternyata ia membayangkan yang bukan-bukan. Imbas dari teknologi informasi didukung petuah orangtua yang berderet deret.
"Terus, kenapa tadi kau tak masuk rumah dan bilang ibumu seperti yang kuminta?"
"Takut dimarahi."
Ah wajar saja, karena kebanyakan orangtua cenderung menyalahkan dan menasehati, padahal yang anak-anak butuhkan hanya didengar dan didukung.
"Ok, apa perasaanmu akan kejadian ini?"
"Nggak mau terulang,bu."
"Caranya?"
"Aku akan bersama-sama adik selama bersepeda dan tidak terlalu jauh."
"OK, sami'na wa a'tokna ya." Ia pun tersenyum paham, karena kata-kata itu adalah trade mark ku (kalau tak boleh dibilang doktrin) dalam mengajar siswa didikku. Dan kamipun berpisah.
Dalam perjalanan pulang, aku berandai-andai:
Seandainya tembok-tembok tinggi komplek perumahan tidak menjadi penghalang silaturahmi, seandainya kita saling peduli dengan tetangga, mungkin lingkungan akan lebih ramah untuk anak-anak, mungkin mereka tidak perlu terpenjara dalam rumahnya, dalam clusternya.
Seandainya orangtua mau mendengarkan anak-anaknya, tidak banyak nasehat, aturan dan batasan, anak-anak akan mudah belajar mendengarkan bukan menyalahkan.
Seandainya orangtua selalu mengucapkan "aku cinta padamu, nak," anak-anak akan mudah belajar mencintai dan menghargai setiap makhluk.
Seandainya orangtua selalu mengunggkapkan "aku bangga padamu, nak," dan menggatakan pengharapan kita pada mereka, mereka tidak akan gengsi untuk mengatakan hal yang sama pada kita dan berani bermimpi lebih tinggi lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H