Bayangkan anda membeli saham harga Rp6000.
Lalu saham ini sempat turun ke 605 pada saat crash Maret 2020.
Saat ini harga saham ini di 1215. Kerugian yang mencapai 80%.
Tentu saham ini anda duga sebagai saham gorengan yang kinerjanya tidak jelas.
Faktanya, saham ini adalah salah satu perusahaan BUMN besar yang secara operasional selalu untung triliunan rupiah. (Hanya di tahun 2020 rugi akibat kalah di pengadilan dalam kasus salah itung beban pajak).
Mungkin ada yg bilang: gejolak harga adalah hal yang wajar dalam investasi saham, karena itu investasi saham harus jangka panjang. Karena itu investor saham harus analisa fundamental dengan baik dan siap melakukan average down bila harga saham mengalami koreksi signifikan.
Lagi2, puncak harga saham 6.000 itu terjadi di Mei 2013 dan Desember 2014, sehingga bila anda melakukan average down, setelah 7 tahun anda masih mengalami kerugian besar.
Saham tersebut adalah saham Perusahaan Gas Negara (PGAS). Dan ini bukan hanya kasus khusus saham PGAS. Hal yang sama terjadi pada saham2 unggulan seperti AALI, ASII, BBNI, BBTN, HMSP, INTP, LSIP, PTBA, PTPP, SMGR, UNTR, UNVR, dan WSKT dengan koreksi harga antara 45%-75%.
Jadi apa menimpa saham PGAS, adalah sebuah rutinitas di bursa saham bagi seluruh saham, termasuk saham blue chip/kapitalisasi besar.
Saham-saham unggulan seperti ini lah yang banyak dimiliki oleh lembaga investasi publik seperti BP Jamsostek dan Taspen. (Lihat Imbal Hasil Investasi Rp 29 Triliun, Ini Koleksi Saham BPJAMSOSTEK )
Apa pelajaran utama disini:
Pertama, benar risiko gejolak harga adalah hal yang sangat serius dalam investasi saham. sebelum dijual memang masih unrealized loss. dan tidak ada yang dapat menebak harga saham dalam jangka pendek maupun menengah. jangka panjang pun tidak mudah. ingat kasus saham teknologi unggulan seperti Yahoo, Lycos, Nokia, dan Blackberry.
Kedua, Risiko Volatilitas harga bersumber dari beberapa komponen yaitu Risiko Fundamental, Risiko Valuasi, dan Risiko Leverage. Risiko Fundamental adalah risiko penurunan kinerja perusahaan yang tentunya akan berdampak pada koreksi harga saham. sementara risiko valuasi adalah risiko membeli harga saham terlalu mahal sehingga ketika ada perubahan persepsi/sentimen sedikit saja atas perusahaan/ekonomi, maka harga saham akan terkoreksi signifikan. risiko leverage terjadi ketika sebuah model bisnis yg baik terlalu menggantungkan diri pada pinjaman untuk melakukan ekspansi. dalam kondisi ekonomi baik, ekspansi dengan utang sangat baik. tapi dalam kondisi ekonomi tidak stabil, hal ini dapat membuat perusahaan kesulitan likuditas dan bahkan terjebak dalam kebangkrutan.Â
Saat ketiga faktor risiko ini (fundamental, valuasi, dan leverage) sangat serius, maka unrealized loss segera menjadi total loss yg nyata.
Akhirnya, persepsi investor atas fundamental dan valuasi sebuah perusahaan sangat menentukan dinamika harga saham-nya. saat investor sangat optimis, spt saham Zoom, Amazon, dan Tesla disaat pandemi tahun lalu, harganya naik dengan cepat. Dan saat eforia berlalu, harga2 saham tersebut mulai koreksi tajam meski kinerjanya tetap baik.
Pada akhir periode booming saham komditas, nasib serupa dialami saham-saham ANTM INCO dan TINS. Dan ketika semua sudah putus asa dengan saham ANTM INCO dan TINS, tiba2 kembali terjadi eforia di tengah krisis kemarin dan harganya naik tajam membuat semua investor kembali melihat prospek jangka panjang saham2 ketika kinerjanya baru mulai pulih. Begitu lah dinamika silkus harga saham.
So apa yang bisa dilakukan untuk meminimalkan masalah pada komitmen investasi jangka panjang anda?
pertama sudah jelas: beli lah saham yang fundamentalnya baik. Meski mungkin saja satu dua tahun saham ini mengalami kerugian, tapi dalam jangka panjang pada harus menghasilkan laba dan cash flow yang positif.
Kedua, beli lah saat valuasi saham ini masuk akal. valuasi yang masuk akal ini biasa terjadi pada saat kinerja perusahaan sementara sedang menurun dan investor menjadi sangat pesimis.
Ketiga, lakukan lah diversifikasi diantara saham-saham yang memenuhi kriteria diatas, dan lakukan investasi secara rutin khususnya saat ekonomi penuh gejolak.
Dengan cara ini, asumsi portofolio anda menjadi terdiversifikasi spt IHSG atau LQ45 atau IDX30, maka dalam periode 10 tahun terakhir anda akan mendapat rata-rata kenaikan harga sekitar 100%, meski dalam setahunnya hanya naik 4,5%. Bila diasumsikan ada tambahan return dividen 1,5%/tahun, maka total return anda adalah 6%/tahun dalam periode 2011-2021.
Bukan return yang luar biasa, mengingat imbal hasil yang lebih baik dapat di peroleh di deposito dan SUN. tapi kesabaran anda menunggu mungkin akan memberikan hasil di tahun2 mendatang saat ekonomi Indonesia mengalami pemulihan dan optimisme investor saham kembali pulih seperti yang terjadi paska krisis 1998-1999 dan rekapitalisasi perbakankan 2000-2001, dimana periode 2003-2010 merupakan masa investasi saham terbaik dengan total return 8 tahun 850%, atau sekitar 31%/tahun.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H