PT Asuransi Jiwasraya, asuransi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terbesar, mengalami kesulitan keuangan sejak akhir 2018. Kesulitan keuangan Jiwasraya diduga disebabkan alokasi investasi yang terlalu besar pada saham-saham kapitalisasi kecil dengan fundamental lemah dan pergerakan harga yang ekstrim. Dalam istilah Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, Jiwasraya banyak berinvestasi ke dalam instrumen "saham gorengan".
Selain PT Jiwasraya, PT Asabri juga diberitakan mengalami permasalahan investasi yang sama (Kontan, 24 November 2019). Kasus saham gorengan juga pernah merugikan Dana Pensiun Pertamina dan Dana Pensiun Pupuk Kaltim.
Biasanya, saham-saham gorengan tersebut milik emiten swasta. Namun di tahun 2016-2017 beberapa saham gorengan adalah saham-saham BUMN, yaitu: PT Indofarma (INAF), PT Pelat Timah Nusantara (NIKL), PT PP Properti (PPRO), dan PT Semen Baturaja (SMBR). Saham-saham BUMN lebih menarik karena ada persepsi bahwa perusahaan BUMN lebih aman karena tidak akan bangkrut.
Saham BUMN ini juga bisa untuk melengkapi struktur portofolio reksadana yang berisi saham gorengan yang sepanjang 2019 banyak yang nilainya turun lebih 50%. Agar memenuhi ketentuan aturan OJK, struktur portofolio reksadana saham Syariah dan reksadana saham konvensional memang memerlukan masing-masing minimal lima dan sepuluh saham. Dengan adanya saham BUMN, reksadana berisi saham gorengan terlihat lebih meyakinkan.
Yang perlu diingat, kinerja harga saham dalam jangka panjang tergantung pada kinerja fundamental perusahaan, bukan siapa pemiliknya. Sedangkan dalam jangka pendek (kurang dari lima tahun), harga saham sangat dipengaruhi persepsi dan psikologis investor.
Misal pada era booming komoditas 2003-2010, saham-saham komoditas naik tajam sejalan dengan perbaikan fundamental perusahaan. Investor menjadi sangat yakin kinerja perusahaan akan terus membaik dan bersedia membayar harga saham dengan valuasi yang sangat tinggi. Akibatnya, investor yang membeli saham komoditas di akhir 2007, seperti INCO dan Astra Agro Lestari (AALI), masih merugi sampai saat ini.
Kapitalisasi dan Likuiditas
Ciri-ciri saham gorengan sebenarnya mudah diketahui. Umumnya, saham yang mungkin digoreng adalah saham-saham berkapitalisasi kecil dengan likuiditas rendah. Merujuk 49 emiten anggota MSCI Indonesia Small Cap Index (November 2019), saham kapitalisasi kecil memiliki nilai antara US$55 juta sampai US$727 juta, atau sekitar Rp770 miliar -- Rp10,2 triliun. Saham BUMN gorengan di atas pada akhir tahun 2015 memiliki kapitalisasi pasar sekitar Rp126 miliar -- Rp2,86 triliun.
Antara 80% sampai 88% saham BUMN gorengan tersebut ternyata dikendalikan oleh pemilik mayoritas seperti Pemerintah Indonesia atau BUMN. Jadi kapitalisasi pasar yang efektif bisa diperdagangkan hanya sekitar Rp18 miliar (NIKL) sampai dengan terbesar Rp438 miliar (SMBR). Dengan kepemilikan saham yang tersegmentasi oleh beberapa pihak dominan, para pihak yang terlibat dalam pembelian saham ini dapat memastikan bahwa saham yang mereka miliki tidak akan dijual saat 'bandar' melakukan proses transaksi semu untuk menaikkan harga.
Kapitalisasi pasar efektif yang kecil dan likuiditas rendah membuat saham-saham BUMN ini mudah dimanipulasi menggunakan modal kecil sehingga harganya naik sangat tinggi.
Selanjutnya, bandar mengakumulasi saham secara agresif untuk menaikkan harga dengan ekstrim. Misal saham INAF dan NIKL naik dari 2.686% dan 4.400% sepanjang tahun 2016. Saham-saham PPRO dan SMBR punya pola yang sama, naik sekitar 673% dan 859% di tahun 2016. Pada tahun 2017, harga saham INAF, NIKL, dan SMBR terus mengalami kenaikan masing-masing sebesar 26%, 120%, dan 36%. Hanya PPRO yang mengalami penurunan harga sebesar 44%.
Perhatikan, saham BUMN yang mengalami kenaikan harga paling ekstrim juga memiliki kapitalisasi pasar paling kecil di akhir 2015, yaitu: INAF (Rp521 miliar) dan NIKL (Rp126 miliar).
Meningkatnya indikator saham seperti harga, nilai kapitalisasai pasar, dan likuiditas memungkinkan saham-saham BUMN gorengan ini masuk ke dalam indeks seperti MSCI Index. Saham PPRO dan SMBR menjadi anggota indeks MSCI Global Small Cap Indexes pada 30 November 2016. Kemudian pada 30 Mei 2017, menyusul INAF dan NIKL yang masuk ke dalam MSCI Global Small Cap Indexes.
Setelah saham-saham tersebut masuk ke dalam indeks acuan seperti MSCI, FTSE, dan IDX, ada dasar kuat pembenaran bagi investor institusional mengakumulasi saham-saham gorengan ini dalam skala besar. Apalagi keuntungan signifikan dapat diperlihatkan dalam kinerja portofolio investasi dan laporan keuangan perusahaan.
Harga vs Fundamental
Kenaikan harga saham ekstrim tersebut, bisa disertai perbaikan kinerja perusahaan. Misal NIKL menjadi laba di tahun 2016-2017, dibandingkan merugi pada tahun 2014-2015. Demikian juga PPRO yang mengalami kenaikan pendapatan dan laba per saham di tahun 2016. Namun perbaikan kinerja NIKL dan PPRO tersebut tidak cukup besar untuk menopang kenaikan harga mencapai 4400% dan 673%. Akibatnya, valuasi kedua saham ini melonjak tajam. Â Valuasi saham menjadi sangat mahal, dimana rasio harga terhadap nilai buku (PBV) dan rasio harga terhadap pendapatan (PER) dari NIKL mencapai 10X dan 185X di tahun 2016. Demikian juga valuasi PBV dan PER dari saham PPRO yang mencapai 7X dan 45X.
Anehnya, kenaikan harga saham ekstrim juga terjadi saat perusahaan mengalami penurunan kinerja fundamental. Misalnya SMBR yang penjualannya relatif stabil, namun laba dan laba per saham menurun. Di tahun 2017 laba dan laba per saham SMBR berkisar Rp147 miliar dan Rp15, jauh dibawah laba dan laba per saham 2015 yang mencapai Rp354 miliar dan Rp36.
Dalam kasus INAF, bahkan lebih aneh lagi: harga saham meningkat tajam saat perusahaan menjadi rugi Rp17,4 miliar di tahun 2016, dari sebelumnya laba Rp6,6 miliar di tahun 2015. Sepanjang 2017 dan 2018, rugi INAF membengkak menjadi Rp46 miliar dan Rp68 miliar, sementara harga saham berlanjut naik.
Porsi kepemilikan saham BUMN gorengan ini dalam portofolio juga terlalu besar dan tidak proporsional. Idealnya, struktur portofolio perusahaan asuransi bersifat konservatif dan defensif dengan menekankan pada kualitas fundamental dan diversifikasi. Portofolio perusahaan asuransi yang konservatif dan defensif biasanya memiliki porsi investasi saham terbesar pada saham-saham kapitalisasi besar yang memiliki fundamental yang baik (blue chip). Idealnya, asuransi seperti Jiwasraya lebih memilih Kalbe Farma, Aneka Tambang, Bumi Serpong Damai, dan Semen Indonesia, daripada saham seperti INAF, NIKL, PPRO, dan SMBR.
Buffett dan Premi Asuransi
Kondisi perusahaan asuransi di Indonesia yang sering kesulitan keuangan karena saham gorengan, kontras dengan keberhasilan investor terkaya di dunia Warren Buffet. Warren Buffet terkenal karena sukses menggunakan surplus premi perusahaan asuransinya untuk menjadi orang terkaya di dunia. Dalam surat tahunan perusahaan holding-nya Berkshire Hathaway (misal: 2002, 2016, 2018), Buffett berulangkali menjelaskan mengapa dia tertarik memiliki perusahaan asuransi seperti Geico, General Re, dan National Indemnity. Bagi Buffett: surplus premi perusahaan asuransi merupakan pinjaman bebas bunga untuk investasi jangka panjang yang sangat menguntungkan strategi investasinya.
Jadi kerugian investasi asuransi di Indonesia bukan karena risiko tinggi investasi saham. Kerugian investasi perusahaan asuransi di Indonesia terjadi karena tidak ada tata kelola yang baik dalam berinvestasi, baik dari segi analisa fundamental dan valuasi perusahaan, diversifikasi portofolio, dan manajemen risiko. Meski proses investasi yang dijalankan sesuai dengan regulasi dan standar operasional perusahaan, tetapi semua proses investasi tersebut hanya memenuhi syarat minimal yang bersifat formalitas dan artifisial.
Manipulasi laporan keuangan dapat menutupi permasalahan perusahaan asuransi tersebut untuk beberapa tahun, namun akhirnya skema ponzi berbasis saham gorengan akan kolaps bersama anjloknya harga saham.
Untuk itu, pengelola investasi asuransi harus disiplin meracik struktur portofolio berbasis fundamental, valuasi, dan diversifikasi. Diversifikasi juga dilakukan secara konsisten antar kelas aset, antar instrumen, dan antar waktu (diversify across asset classes, within asset classes, and across time).
***
nb: versi lebih pendek dari tulisan ini dimuat di Kolom OPINI harian KONTAN, 23 Desember 2019, hal 11. dengan judul "BUMN dan Saham Gorengan"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H