Perhatikan, saham BUMN yang mengalami kenaikan harga paling ekstrim juga memiliki kapitalisasi pasar paling kecil di akhir 2015, yaitu: INAF (Rp521 miliar) dan NIKL (Rp126 miliar).
Meningkatnya indikator saham seperti harga, nilai kapitalisasai pasar, dan likuiditas memungkinkan saham-saham BUMN gorengan ini masuk ke dalam indeks seperti MSCI Index. Saham PPRO dan SMBR menjadi anggota indeks MSCI Global Small Cap Indexes pada 30 November 2016. Kemudian pada 30 Mei 2017, menyusul INAF dan NIKL yang masuk ke dalam MSCI Global Small Cap Indexes.
Setelah saham-saham tersebut masuk ke dalam indeks acuan seperti MSCI, FTSE, dan IDX, ada dasar kuat pembenaran bagi investor institusional mengakumulasi saham-saham gorengan ini dalam skala besar. Apalagi keuntungan signifikan dapat diperlihatkan dalam kinerja portofolio investasi dan laporan keuangan perusahaan.
Harga vs Fundamental
Kenaikan harga saham ekstrim tersebut, bisa disertai perbaikan kinerja perusahaan. Misal NIKL menjadi laba di tahun 2016-2017, dibandingkan merugi pada tahun 2014-2015. Demikian juga PPRO yang mengalami kenaikan pendapatan dan laba per saham di tahun 2016. Namun perbaikan kinerja NIKL dan PPRO tersebut tidak cukup besar untuk menopang kenaikan harga mencapai 4400% dan 673%. Akibatnya, valuasi kedua saham ini melonjak tajam. Â Valuasi saham menjadi sangat mahal, dimana rasio harga terhadap nilai buku (PBV) dan rasio harga terhadap pendapatan (PER) dari NIKL mencapai 10X dan 185X di tahun 2016. Demikian juga valuasi PBV dan PER dari saham PPRO yang mencapai 7X dan 45X.
Anehnya, kenaikan harga saham ekstrim juga terjadi saat perusahaan mengalami penurunan kinerja fundamental. Misalnya SMBR yang penjualannya relatif stabil, namun laba dan laba per saham menurun. Di tahun 2017 laba dan laba per saham SMBR berkisar Rp147 miliar dan Rp15, jauh dibawah laba dan laba per saham 2015 yang mencapai Rp354 miliar dan Rp36.
Dalam kasus INAF, bahkan lebih aneh lagi: harga saham meningkat tajam saat perusahaan menjadi rugi Rp17,4 miliar di tahun 2016, dari sebelumnya laba Rp6,6 miliar di tahun 2015. Sepanjang 2017 dan 2018, rugi INAF membengkak menjadi Rp46 miliar dan Rp68 miliar, sementara harga saham berlanjut naik.
Porsi kepemilikan saham BUMN gorengan ini dalam portofolio juga terlalu besar dan tidak proporsional. Idealnya, struktur portofolio perusahaan asuransi bersifat konservatif dan defensif dengan menekankan pada kualitas fundamental dan diversifikasi. Portofolio perusahaan asuransi yang konservatif dan defensif biasanya memiliki porsi investasi saham terbesar pada saham-saham kapitalisasi besar yang memiliki fundamental yang baik (blue chip). Idealnya, asuransi seperti Jiwasraya lebih memilih Kalbe Farma, Aneka Tambang, Bumi Serpong Damai, dan Semen Indonesia, daripada saham seperti INAF, NIKL, PPRO, dan SMBR.
Buffett dan Premi Asuransi
Kondisi perusahaan asuransi di Indonesia yang sering kesulitan keuangan karena saham gorengan, kontras dengan keberhasilan investor terkaya di dunia Warren Buffet. Warren Buffet terkenal karena sukses menggunakan surplus premi perusahaan asuransinya untuk menjadi orang terkaya di dunia. Dalam surat tahunan perusahaan holding-nya Berkshire Hathaway (misal: 2002, 2016, 2018), Buffett berulangkali menjelaskan mengapa dia tertarik memiliki perusahaan asuransi seperti Geico, General Re, dan National Indemnity. Bagi Buffett: surplus premi perusahaan asuransi merupakan pinjaman bebas bunga untuk investasi jangka panjang yang sangat menguntungkan strategi investasinya.
Jadi kerugian investasi asuransi di Indonesia bukan karena risiko tinggi investasi saham. Kerugian investasi perusahaan asuransi di Indonesia terjadi karena tidak ada tata kelola yang baik dalam berinvestasi, baik dari segi analisa fundamental dan valuasi perusahaan, diversifikasi portofolio, dan manajemen risiko. Meski proses investasi yang dijalankan sesuai dengan regulasi dan standar operasional perusahaan, tetapi semua proses investasi tersebut hanya memenuhi syarat minimal yang bersifat formalitas dan artifisial.