Mohon tunggu...
Siswa Rizali
Siswa Rizali Mohon Tunggu... Konsultan - Komite State-owned Enterprise

econfuse; ekonomi dalam kebingungan

Selanjutnya

Tutup

Financial

Ancaman Krisis dari Bursa Obligasi Global

29 Oktober 2018   07:55 Diperbarui: 29 Oktober 2018   14:26 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stimulus moneter berbagai bank sentral besar dunia, dari The Fed Amerika, European Central Bank, Bank Sentral Jepang, dan China menciptakan situasi bunga yang sangat rendah dalam sejarah finansial modern. Baik dengan implementasi strategi ekspansi moneter konvensional (berupa penurunan suku bunga acuan kebijakan), serta kebijakan moneter ekstrim seperti pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) dan bunga negatif. Stimulus moneter ekstrim tersebut juga tidak diikuti inflasi tinggi di negara maju, dibawah 2% per tahun.

Kondisi ideal bagi investasi obligasi tenor panjang ini meyakinkan investor bahwa "kali ini berbeda" (this time is different). Baik karena keyakinan akan kemampuan bank sentral memperkirakan dan mengarahkan perekonomian sehingga menjadi lebih stabil dan lebih cepat pulih dari krisis. Maupun persepsi adanya perubahan struktur ekonomi global yang menyebabkan inflasi bertahan rendah.

Bukti empiris lain adalah pengalaman Jepang dimana suku bunga kebijakan konsisten turun dari 6,0% pada 1990/1991, menjadi 0,10% pada 2001-2006, dan kemudian menjadi negatif sejak 2016. Investor obligasi global percaya fenomena suku bunga rendah akan bertahan dalam jangka panjang (10 tahun atau lebih).

Saat gejolak finansial seperti di tahun 2008, 2013, dan 2015, Bank Sentral menyelamatkan investor dari kerugian besar. Investor meyakini dapat memperoleh untung untuk dirinya sendiri, dan pemerintah atau lembaga internasional (seperti IMF) akan menyediakan talangan guna mencegah instabilitas sektor keuangan (privatize the profits, socialize the losses).

Investor obligasi yang dulu fokus pada analisa fundamental instrumen dan tingkat yield, saat ini lebih tertarik dengan keuntungan dari trading jangka pendek obligasi tenor panjang (capital gain). Investor obligasi bersikap seperti investor ritel yang "berjudi" dengan melakukan jual-beli saham dalam jangka pendek.

Perubahan perilaku investor ditandai dengan ketidakperdulian akan risiko yield yang terlalu rendah (=harga obligasi mahal). Misalnya, investor obligasi di emerging market tidak mempertimbangkan fundamental, hanya melihat yield relatif lebih tinggi daripada yield treasury negara maju. Risiko volatilitas dan rendahnya likuiditas bursa obligasi dan bursa valuta asing emerging market dilupakan.

Investasi di Surat Utang Negara (SUN) atau obligasi global korporasi dari emerging market yang berdenominasi mata uang domestik menjadi sangat populer. Di Indonesia, Afrika Selatan, Cheko, dan Peru, kepemilikan investor global di SUN mencapai 40%-50% dari total SUN yang diterbitkan. Korporasi di China, Indonesia, India, dan Uzbek berhasil menerbitkan obligasi global berbunga rendah dengan mata uang domestik (dikenal sebagai Dim Sum Bond, Komodo Bond, Masala Bond, dan Samarkand Bond).

Contoh lain, Argentina yang dalam 100-tahun terakhir bangkrut tujuh kali, di tahun 2017 berhasil menerbitkan obligasi dengan tenor 100 tahun dan berbunga rendah (7,9%). Ironisnya, tahun ini Argentina kembali bangkrut sehingga terpaksa menaikkan suku bunga ke 60% dan meminta bantuan talangan dari IMF.

Beban Utang Semakin Besar

Risiko gejolak dari bursa obligasi saat ini lebih besar daripada krisis yang terjadi di 2008. Saat itu, segmen subprime mortgage di Amerika dan derivatifnya menjadi sumber masalah. Paska krisis finansial global 2008, beban utang di seluruh dunia terus meningkat. Institute for International Finance (IIF) memperkirakan total utang dunia pada akhir 2017 mencapai US$237 triliun, atau mencapai 320% dari PDB Dunia. Pada akhir 2007, total utang dunia baru US$ 167 triliun, atau sekitar 270% PDB Dunia.

Lonjakan tajam utang terjadi di negara emerging market, dimana total utang di tahun 2017 naik tiga kali lipat ke US$ 63 Triliun (sekitar 210% PDB) dibandingkan US$ 21 Triliun (sekitar 145% PDB) di tahun 2007.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun