Mohon tunggu...
Siswa Rizali
Siswa Rizali Mohon Tunggu... Konsultan - Komite State-owned Enterprise

econfuse; ekonomi dalam kebingungan

Selanjutnya

Tutup

Money

Menyikapi Pudarnya Jokowi Effect

22 Oktober 2015   14:01 Diperbarui: 22 Oktober 2015   17:03 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini adalah ulasan detil atas posting "Kemana Jokowi Effect ???" (5 Oktober 2015).

Tulisan ini telah dipublikasi di harian KONTAN, 21 Oktober 2015, hal. 23 , dengan judul "Menyikapi Pudarnya Jokowi Effect".

===.

Setelah satu tahun kepresidenan Bapak Joko Widodo (Jokowi), Rupiah terdepresiasi 12% ke Rp 13.500. Meski Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat mengalami pemulihan sepanjang 2014 dan menembus titik tertinggi baru 5.523 (7 April 2015), saat ini IHSG telah turun 10% ke 4.522 (per 16 Oktober).

Indikator finansial lain, yaitu indeks harga Surat Utang Negara dari HSBC, juga koreksi sekitar 3% dibandingkan posisi di 20-Oktober-2014. Menariknya, harga SUN terus menurun meski kepemilikan asing naik dari Rp 324 Triliun pada awal 2014 ke Rp 524 Triliun (15 Oktober 2015).

Sedangkan pertumbuhan ekonomi saat ini sudah dapat dipastikan dibawah 5% per tahun dan sulit pulih dalam waktu dekat.

Indikator-indikator finansial dan ekonomi juga lebih rendah posisinya dibandingkan saat Bapak Jokowi dicalonkan sebagai Presiden (13 Maret 2014).

Kemana kah Jokowi Effect? Mengingat banyak pengamat ekonomi dan politik yang berspekulasi adanya efek positif terhadap ekonomi saat Jokowi dicalonkan atau terpilih sebagai Presiden. Efek positif dari kepresidenan Jokowi yang didengungkan antara lain: kenaikan IHSG, penguatan Rupiah, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Buru-buru pengamat yang menyatakan adanya Jokowi Effect menyalahkan gejolak ekonomi global sebagai sumber permasalahan. Pengamat lain berargumen bahwa Presiden Jowowi tidak mampu melaksanakan program kerjanya kerena kurangnya dukungan politik. Ada juga yang berhipotesa, bila bukan Jokowi sebagai presiden, kondisi ekonomi Indonesia akan jauh lebih buruk.

Tentunya alasan tersebut tinggal alasan. Gejolak ekonomi sudah ada sejak 2008 dan terus berlanjut sampai sekarang. Sehingga pengamat yang menyatakan adanya Jokowi Effect tentu sudah mempertimbangkan gejolak ekonomi global tersebut. Paska 2008 berbagai gejolak ekonomi terjadi seperti: default-nya Dubai World (2009), krisis Yunani (2011), krisis Irlandia (2011), potensi kenaikan Fed Fund Rate (2013), dan perlambatan ekonomi China.

Kurangnya dukungan politik sudah jelas sejak awal pencalonan Jokowi, dimana kata-kata “sebagai Petugas Partai” menunjukkan keraguan PDI-P dalam mendukung Joko Widodo sebagai calon Presiden. Hipotesa ekonomi lebih buruk juga hanya berandai-andai karena sang pengamat sudah salah tebak.

Pudarnya Jokowi Effect juga lebih terlihat bila dibandingkan efek serupa yang dinyatakan ada di India, yaitu Modi Effect. Meski sama-sama terimbas gejolak ekonomi global sehingga ekonomi India dan Rupee melemah, tapi Indeks Harga Saham Sensex (Bursa India) dan Indeks Harga SUN India mengalami kenaikan dibandingkan pada saat Narendra Modi dicalonkan (13 September 2013) atau menjadi Perdana Mentri (26 Mei 2014).

Bagaimana sebaiknya kita menyikapi pudarnya Jokowi Effect tersebut?

# # #

Dalam jangka pendek, misalnya satu sampai tiga tahun, pergerakan indikator finansial seperti IHSG dan nilai tukar sangat dipengaruhi psikologis investor. Indikator finansial dapat naik dan turun tanpa perubahan fundamental yang signifikan. Misalnya, di tahun 2008 IHSG sempat mengalami koreksi 50% lebih, tapi ekonomi Indonesia tetap tumbuh (= tidak krisis). Di tahun 2008, nilai tukar Rupiah juga melemah ke Rp 12,500 per US Dolar, kemudian berbalik arah dan mencapai titik terkuat ke Rp 8,500 di pertengahan 2011.

Demikian juga dinamika IHSG sejak 2011 yang ditandai dengan penembusan titik tinggi baru, misalnya Agustus 2011, Mei 2012, Mei 2013, dan April 2015, namun segera diwarnai koreksi signifikan (Grafik 1). Karena itu rally pemulihan 2014 adalah peristiwa wajar paska koreksi signifikan (sekitar 25%) di 2013, bukan dipicu Jokowi Effect.

Garfik 1. Penembusan Titik Tinggi Baru dan Koreksi 2011-2015

Sumber: BLOOMBERG

Dinamika bursa yang ‘aneh’ tidak hanya terjadi di bursa terbuka seperti Indonesia. Perhatikan bursa saham yang tertutup dan penuh regulasi di China, dimana Indeks Shanghai mengalami koreksi berkelanjutan sekitar 40% sepanjang 2010- sampai titik terendah Juni 2013. Lalu tiba-tiba Indeks Shanghai naik sekitar 150% dalam periode setahun (Juli 2014-Juni 2015), sejalan dengan memburuknya ekonomi China.

Dalam review berbagai studi empiris mengenai pertumbuhan ekonomi dan bursa saham (lihat Ritter (2005, 2012) dan Dimson dkk (2002, 2012)), tim peneliti Norges Bank Investment Management menyimpulkan: Empirical evidence in developed and emerging markets does not support the notion of a structural relationship between economic growth and equity returns.

Sayangnya keberadaan Jokowi Effect sepertinya juga diterima oleh Presiden Jokowi, ini terlihat dari pernyataan beliau yang menjadi judul berita seperti: “Jokowi: Saya akan Sering ke Bursa biar Indeks Naik” (Kontan, 11 April 2014) dan “Sambangi Bursa, Jokowi Optimis IHSG bisa ke 6.000” (Kontan, 17 April 2015).

Sebagaimana dinamika IHSG, indikator finansial seperti nilai tukar dan harga surat utang negara juga sulit memberikan arahan kemana sebenarnya ekonomi akan bergerak.

# # # #

Mungkin lebih baik menggunakan pertumbuhan ekonomi mengukur kinerja pemerintah Presiden Jokowi?

Faktanya, pertumbuhan ekonomi adalah fenomena jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi bersumber pada: pembentukan barang modal, peningkatan produktivitas tenaga kerja, inovasi teknologi produksi, dan transformasi institusi dimana ketiga faktor produksi itu berinteraksi.

Meski pertumbuhan ekonomi diukur dalam periode per tahun, pembangunan barang modal sekala besar (seperti jalan tol dan pelabuhan) merupakan proyek jangka panjang (bisa lebih dari 3 tahun). Manfaatnya pun dirasakan puluhan tahun ke depan. Contoh sederhana, lapangan terbang terbesar Indonesia “Soekarno Hatta Cengkareng” adalah barang modal warisan dari era Presiden Soeharto. Sedangkan keseluruhan Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta yang selesai 2014 ternyata sudah dibangun sejak 1990. Tenaga Kerja yang ada saat ini mayoritas adalah hasil didikan era Presiden Soeharto (1980-1990-an).

Mencoba mengukur kinerja Jokowi dengan pertumbuhan ekonomi tidak mungkin dilakukan dalam waktu satu tahun. Ekstrimnya, kinerja ekonomi era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono boleh jadi hasil warisan pembagunan era Presiden Soeharto yang kemudian terbantu oleh booming kredit dan komoditas global 2003-2010. Apalagi mengingat minimnya pembangunan infrastruktur di Era Reformasi dan restrukturisasi utang pemerintah sepanjang tahun 2000-an membatasi kebijakan fiskal untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi.

# # # #

Jelas lah indikator finansial dan ekonomi riil seperti perumbuhan ekonomi tahunan tidak dapat digunakan mengukur Jokowi Effect maupun kinerja pemerintah. Dinamika indikator-indikator ekonomi tersebut juga diluar kontrol pemerintah. Lagipula, indikator finansial populer seperti IHSG tidak menjadi indikator kebijakan atau target kebijakan ekonomi pemerintah.

Pemerintah seharusnya fokus pada perbaikan proses tata kelola sumber daya ekonomi yang potensial mempengaruhi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Perbaikan iklim usaha dan investasi, pengadaan infrastruktur, kepastian hukum dan keamanan, dan perbaikan sumberdaya manusia, merupakan berbagai aspek dimana kebijakan pemerintah dapat memiliki peran penting dalam pembangunan. Realokasi subsidi BBM untuk pendidikan, pembangunan infrastruktur MRT dan trans Sumatra, itu yang bisa menjadi Jokowi Effect sebenarnya.

Kesemua aspek tersebut diharapkan nantinya akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Disertai perbaikan-perbaikan pada indikator pembangunan ekonomi lain seperti: perbaikan pendapatan masyarakat, penciptaan lapangan kerja, dan pemerataan pembangunan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun