"Nah itu dia masalahnya, Ta. Itu juga yang aku khawatirkan." Yogi menambahkan.
"Tugasmu yang mikirin kopi ini mau diapain, Ve." Sambung Yogi.
"Nah, kan... Giliran begini, buangnya ke aku." Sahut Vega kesal.
"Lalu maksudmu, siapa lagi yang bisa mikirin hal beginian. Ini kopi jelas punya nilai jual. Tapi cuma bisa masuk di musim panen. Resiko"
"Iya iya aku tau. Kita jadiin paket hampers Natal aja, ya. Kasih aku harga belinya., supaya aku bisa hitung harga jual. Detail isis paket, packaging, design dan lain-lain kasih aku waktu beberapa hari untuk mikir." Jabar Vega.
"Bukan mikir, Neng. Kerja." Goda Yogi.
Vega tak menyahut lagi. Dia bergegas meninggalkan meja cupping mereka. Meminta tim lainnya mengemasi sisa-sisa cupping mereka.
"Tangan Vega makin dingin." Ucap Yogi seolah melaporkan perkembangn hasil kerja Vega.
"Aku tau." Sahut Deta singkat.
"Kemarin sore Lauren nelpon aku. Dia terima berkas lamaran Vega."
Yogi bahkan tak melihat respon apa pun dari Deta. Sahabatnya itu masih terlihat asik menikmati cold brew yang baru saja di antarkan waitress. Hasil racikan Vega. Rasanya Vega memang benar-benar menyatu dengan kopi. Tak hanya espresso based, manual brew pun dikuasainya dengan sangat baik.