Mentari masih begitu enggan untuk bersinar pagi ini. Mendung tebal masih menutupi hampir seluruh langit Medan. Dan Bapakku masih tetap dengan motor tuanya. Supra Fit keluaran tahun dua ribu lima.
"Bapak berangkat dulu, ya." Katanya seusai sarapan pagi itu.
"Pak, bawalah ini untuk makan siang Bapak." Kataku sambil menyodorkan kotak nasi yang hanya berisi nasi putih dan telur mata sapi ditambah sedikit kecap manis untuk perasa.
"Kau saja yang bawa itu. Bapak masih bisa makan dari hasil traktiran pengguna aplikasi jasa pesan antar makanan nanti."
Bapak selalu begitu. Dan alasannya selalu sama setiap hari.
Memang benar, Tuhan sering berbaik hati mengirimi kami makanan dari pengguna aplikasi jasa pesan antar makanan yang pesan dari Bapak. Tapi, tak jarang juga Bapak harus menahan lapar dan hanya minum air putih sepanjanng hari.
Tubuh Bapak memang tak lagi kuat. Keriput sudah bergelantungan hampir di seluruh tubuhnya. Rambut putihnya bahkan sudah mendominan. Melihat Bapak yang masih terus bekerja di usia senja bahkan menolak untuk beristirahat di rumah, rasanya aku sering malu pada diriku yang sering mengeluh.
"Pergilah mandi. Bapak buatkan teh hangat buatmu." Sambutnya ketika melihatku tiba dirumah dengan kondisi basah kuyup.
"Arga bisa bikin sendiri, Pak." Sahutku sambil mengambil gelas yang ada di genggaman Bapak.
"Bapak bawa nasi goreng. Tadi ada yang traktir. Cepatlah mandi, kita makan bareng." Sambungnya masih dengan penuh perhatian.
Satu hal yang tak bisa aku pahami. Kapan Bapak akan sadar kalau aku bahkan sudah tumbuh dewasa. Dia masih tetap membanjiriku dengan perhatian seperti anak kecil. Menyuruhku mandi, mengingatkanku makan, melarangku begadang.
Di rumah ini kami memang hanya tinggal berdua. Hanya aku dan Bapak. Sejak mama meninggal, aku bahkan tak pernah melihat Bapak membawa seorang perempuan pun ke rumah. Setiap kali aku bertanya apakah Bapak tak punya niat sama sekali untuk menikah lagi, jawabannya selalu sama. Lahir sekali, hidup juga sekali, mencintai pun hanya sekali.
Otakku jelas tak bisa mencerna pemahaman cinta seperti yang dirasakan Bapak untuk Mama. Jelas tak bisa karena sampai usiaku sekarang, aku bahkan belum pernah menyatakan cinta pada seorang perempuan.
Bapak selalu tidur paling akhir. Dia selalu ingin memastikanku tidur lebih dulu. Walau sering ketika aku terbangun, aku sadar Bapak tak ada di kamarnya. Begitu juga motor tuanya. Aku sering iri padanya. Tuhan memberikan dia semangat yang tak pernah habis. Sementara aku yang masih muda, masih sering begitu cepat patah dan menyerah.
"Pak, Bapak narik ojol lagi, ya? Ini uda tengah malam, Pak." Cariku cemas lewat panggilan telepon.
"Ini uda di jalan mau pulang, Ga. Kenapa kau bangun? Tidurlah lagi. Bapak sebentar lagi sampai."
Betapa kesalnya aku pada Bapak. Apa yang sedang dia pikirkan? Kenapa dia begitu memperhatikanku sampai lupa memperhatikan dirinya sendiri. Hujan bahkan tak berhenti sudah berapa hari ini. Banjir dan pohon tumbang hampir di seluruh kota Medan.
"Belum tidur juga?" Sapanya ketika sampai di rumah dan melihatku menunggunya.
"Motor Bapak mogok, ya?" Tanyaku yang heran tak mendengar suara motor sebelum Bapak tiba.
"Nggak kok. Sengaja Bapak dorong supaya kau nggak kebangun lagi. Ternyata kau malah belum tidur."
Aku percaya begitu saja apa yang diucapkan Bapak tanpa sedikitpun berusaha mencari tahu kebenarannya.
"Ini vitamin C untukmu. Tadi Bapak mampir ke apotek." Bapak menyodorkan sebotol vitamin C ke arahku.
"Pak, aku ini uda besar. Berhentilah terlalu memperhatikanku seperti anak kecil. Aku bisa urus diriku sendiri. Sekarang biarin aku yang urus Bapak." Jawabku dengan nada bicara sedikit meninggi.
"Minumlah satu. Supaya besok pagi kau bangun lebih segar. Hampir setiap hari kau diguyur hujan."
Aku menurut. Aku tahu, Bapak tak akan pernah membiarikanku sakit. Dia menjagaku lebih dari menjaga dirinya sendiri. Kulangkahkan kakiku ke dapur, membuatkannya teh hangat.
"Pak, minumlah. Setelah itu tidurlah. Nggak perlu nunggu Arga tidur. Besok Arga libur, Arga aja yang narik ojol pakai aplikasi Bapak, ya."
Bapak tak pernah menjawab permintaanku yang satu itu. Dia selalu berpura-pura tak mendengar kata-kataku. Baiklah, aku mengalah. Aku tahu Bapak tak akan tertidur sampai aku tidur. Aku bersiap-siap tidur setelah melihat gelas Bapak kosong.
"Pak, aku tidur duluan, ya."
Bapak hanya menjawabku dengan anggukan. Kulangkahkan kakiku ke kamar. Kutarik selimut lusuhku. Suara hujan makin deras terdengar menghantam seng rumah kami. Dan Bapak masih sibuk dengan panci-pancinya untuk menampung air hujan yang masuk ke dalam rumah kami lewat lubang-lubang kecil dari atas sana.
Aku yakin Bapak sudah tidur. Mengendap-endap aku rayapkan kakiku meninggalkan tempat tidurku. Aku hampiri Bapak di ujung tempat tidurnya. Tubuhnya menggigil kedinginan. Kulapisi selimutnya dengan selimutku. Napas yang terhembus dari hidungnya lebih panas dari napasku. Aku mulai khawatir Bapak akan demam.Â
Begitu besar inginku meletakkan tanganku di dahinya, tapi aku takut dia terbangun dan memarahiku. Puas rasanya batin ini menyapa batin Bapak yang aku harap bisa mendengarkanku. Sejak kecil, Bapak selalu berusaha menjadi penjaminku. Menjamin aku harus hidup bahagia walau tak kaya. Dan Bapak selalu berhasil membuatku menjadi anak paling beruntung, paling bahagia.
Aku langkahkan kakiku menuju motor tuanya. Motor yang entah sudah berapa lama mendampingi Bapakku melewati perjalanan mulus dan berbatu. Motor yang dulu selalu dipakai Bapak mengantar jemput aku sekolah. Motor ini, harta Bapak yang paling berharga setelah aku.
Setelah sekian tahun aku tak lagi naik motor tua Bapak, malam ini aku sadar satu hal. Bapak bahkan tak punya mantel hujan untuk melindunginya ketika hujan datang. Hanya ada polybag ukuran besar yang dibolongi supaya mirip mantel hujan. Dan plastik kantongan seukuran kepala manusia. Hatiku hancur. Begini cara Bapak memperjuangkan hidup kami. Bahkan ketika aku sudah bekerja. Bapak tak pernah sekali pun menurut waktu aku minta dia beristirahat di rumah. Dan benar, motor tua Bapak mogok. Entah sudah berapa jauh Bapak mendorong motornya dibawah hujan deras dan bajir.
Entah naluri apa yang menuntun kakiku untuk meraih hp nya. Aku cek riwayat pesanan ojol Bapak. Tak sedikit tanggapan buruk dari penumpang Bapak yang kecewa karena Bapak hanya bisa memberikan polybag untuk mereka. Sekarang aku paham. Polybag itu bapak sediakan untuk penumpangnya, dan kantong plastik itu yang dipakai Bapak untuk menutup kepalanya kemudian dilapisi helm.
Bapak benar. Aku memang sudah besar, tapi caraku menandang hidup sungguh tak lebih dari seorang anak SD. Aku bahkan tak sanggup melihat apa yang dilewati Bapak setiap hari.
"Ga, kau dimana?" Tanya Bapak sedikit agak marah.
"Bapak uda bangun?" Tanyaku balik.
"Pulang kau sekarang"
"Iya, Pak. Iya."
Aku tau pasti Bapak sedang sangat marah karena aku pergi membawa motor kesayangannya. Sepaket dengan hp nya. Demi menghukum Bapak istirahat sehari saja di rumah.
Muka Bapak merah padam. Tapi aku sudah siap dengan semua marahnya.
"Jam berapa kau mulai narik ojol?" bapak memulai interogasinya.
"Jam lima, Pak." Jawabku sambil menunduk.
Bahkan sampai diumurku yang sekarang, aku tak pernah berani menatap Bapak ketika marah.
"Kau tau hujan nggak berhenti dari semalam. Kau..."
"Pak, Arga Cuma mau Bapak istirahat. Sehari aja. Sehari aja, Pak." Jawabku dengan suara mulai gemetar.
Laki-laki macam apa aku ini. Seperti ini saja aku hampir menangis.
"Bapak demam. Bapak paksain badan Bapak tiap hari diguyur hujan. Arga nggak tega, Pak." Kali ini air mataku benar-benar tumpah.
"Pak, Arga punya ini buat Bapak." Ucapku dengan banjir air mata sambil memberikan bungkusan plastik ke arah Bapak.
Bapak meraih bungkusan yang kuberikan. Sebentar aku lihat wajah marahnya berubah sendu. Ada air mata yang ingin tumpah dari bola matanya yang sudah tertutup sedikit katarak.
"Pak, Arga cuma punya Bapak. Arga juga mau Bapak tetap sehat. Siapa yang bakal jaga Arga lagi kalau Bapak sakit. Tolong tetaplah sehat, Pak. Tolong tetaplah peduli sama kesehatan Bapak juga." Kali ini aku hanya ingin memeluk lelaki tua yang masih selalu terlihat sok-sok muda dan kuat itu.
"Mantel hujannya buat Bapak, ya. Arga nggak rela kepala Bapak basah karena air hujan." Aku membiarkan diriku tenggelam dalam pelukan Bapak seperti seorang anak kecil.
Aku tuntun Bapak duduk di kursi reot kami. Kusiapkan lontong Medan yang kubeli dari pinggir jalan tadi supaya Bapak bisa sarapan.
"Pak, minum paracetamolnya dulu, ya. tadi Arga mampir ke apotek. Semalam Bapak menggigil."
Kali ini Bapak menurut. Tak ada sedikitpun perlawanan dari sikapnya. Kutemani Bapak menuju kamar supaya Bapak bisa istirahat.
Tuhan,
Aku mau dia selalu sehat. Setidaknya, selama aku hidup, ijinkan Bapak tetap sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H