Di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang masih lesu, pemerintah justru resmi menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini justru menuai polemik dan melahirkan berbagai macam penolakan dari elemen masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah. Penolakan tersebut merupakan hal yang wajar, sebab kenaikan PPN akan berimbas pada semakin meningkatnya harga barang dan jasa yang justru semakin menurunkan daya beli masyarakat.
Data yang dirilis oleh BPS menunjukkan bahwa selama 5 bulan dalam rentang waktu Mei hingga September 2024, Â terjadi penurunan daya beli masyarakat yang ditandai dengan deflasi. Fenomena demikian tentu memprihatinkan dan menunjukkan bahwa pergerakan ekonomi Indonesia sedang tidak stabil. Salah satu faktor utama dari masalah tersebut dipicu oleh penurunan pendapatan masyarakat yang kemudian memengaruhi jumlah uang beredar. Beberapa ekonom menduga kondisi tersebut merupakan akibat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sulitnya mendapatkan pekerjaan.
Ketimpangan, Istilah Lain PPN 12%
Kendatipun tarif PPN 12% hanya akan diterapkan pada barang-barang mewah, kebijakan ini akan menimbulkan efek domino pada sektor ekonomi lainnya (cascading tax effect). Kenaikan PPN ini berpotensi menaikkan harga yang lebih tinggi akibat efek cascading yang tentu akan memengaruhi daya beli masyarakat, terutama untuk barang kebutuhan pokok ataupun barang yang memiliki rantai pasok (supply chain) yang panjang.
Padahal, untuk mendorong ekonomi yang lesu, pemerintah seharusnya fokus pada peningkatan efisiensi belanja negara, dengan mengurangi program yang kurang produktif dan mengalihkannya pada upaya pemulihan ekonomi, dan bukan justru semakin membebani masyarakat dengan menaikkan pajak di tengah kondisi yang ekonomi yang masih melambat. Naasnya, pengenaan tarif PPN 12% pada barang mewah muncul setelah terjadi penolakan dari berbagai kalangan masyarakat sipil, bukti bahwa kebijakan tersebut tidak dipertimbangkan secara matang.
Karena itu, meskipun kenaikan pajak ini merupakan implementasi dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021, pemerintah seharusnya bijaksana dalam melihat situasi saat menetapkan peraturan. UU bukanlah merupakan kebijakan mutlak yang harus secara tekstual dilaksanakan, tetapi dapat bersifat fleksibel yang bisa menyesuaikan kondisi sosial masyarakat sebagaimana prinsip hukum yang dinamis. Terlebih, UU tersebut menetapkan interval paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.
Tax Amnesty dan Moral Hazard
Ironinya, penetapan kenaikan PPN 12% ini diiringi dengan diangkatnya wacana pengampunan pajak (tax amnesty) untuk meningkatkan penerimaan negara. Sebagaimana diketahui, Rapat Paripurna DPR 19 November silam baru saja menyepakati RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Tax amnesty ini merupakan jilid III yang sebelumnya sudah pernah bergulir yaitu jilid I pada periode 18 Juli 2016 - 31 Maret 2017 dan jilid II pada periode 1 Januari - 30 Juni 2022 melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
Padahal semestinya, tax amnesty hanya dilakukan sekali dalam satu generasi wajib pajak untuk menjaga kredibilitas sistem perpajakan. Saat dilakukan berjilid-jilid dan secara terus menerus, artinya pengelolaan sistem perpajakan kita belum dikelola dengan serius. Apalagi, pemerintah kita telah memberikan tax amnesty selama dua kali, menuju jilid III, Â dalam 10 tahun terakhir. Kebijakan tersebut semacam memberikan karpet merah bagi mereka yang tidak patuh pajak dan justru mencederai prinsip keadilan dalam perpajakan.
Tax amnesty dianggap tidak adil bagi wajib pajak yang selalu taat membayar tepat waktu, sebab menguntungkan pengemplang pajak (tax evader) yang sering kali membuat laporan keuangan palsu bahkan menyembunyikan aset (moral hazard). Wajib pajak yang patuh tentu akan merasa tidak dihargai dan menimbulkan demotivasi dalam membayar pajak, karena melihat tidak adanya konsekuensi bagi pelanggar. Rousseau dalam teorinya Social Contract Theory menyatakan bahwa pemerintah dan masyarakat harus memiliki kewajiban timbal balik. Dalam konteks ini, jika tax amnesty dilakukan secara berulang, tentu akan merusak kontrak sosial karena menciptakan ketidakadilan bagi mereka yang patuh terhadap pembayaran pajak.
Menakar Urgensi PPN 12% dan Tax Amnesty
Tumpul ke atas, tajam ke bawah. Demikianlah kalimat yang tepat menggambarkan kebijakan yang dihadirkan pemerintah dalam waktu yang relatif bersamaan. Pemerintah menyodorkan kombinasi yang apik, Merawat Ketimpangan - Melanggengkan Moral Hazard. Pada satu sisi, kenaikan PPN akan semakin menyulitkan masyarakat kelas menengah ke bawah yang justru menjadi kontributor terbesar dalam konsumsi rumah tangga. Namun, pada saat yang sama, pemerintah justru memberikan keringanan pada kalangan atas dan perusahaan besar melalui wacana kebijakan tax amnesty, yang sebelumnya justru menghindari kewajiban pajak. Kebijakan ini merupakan cerminan dari pengabaian terhadap keberpihakan yang menihilkan nilai kemaslahatan.
Stiglitz, seorang pakar ekonomi dan peraih penghargaan Nobel bidang Ekonomi pada 2001, mengkritik kinerja pemerintah yang kerap melahirkan kebijakan yang justru merugikan masyarakat. Hal ini terjadi sebab regulator dan legislatif bekerja sama dalam mengendalikan rule of the game yang hanya menguntungkan orang-orang kaya saja. Akibatnya, kesenjangan semakin lebar dan justru semakin menjauh dari cita-cita menyejahterakan rakyat. Padahal, salah satu prinsip utama dalam konteks perpajakan menekankan tentang pentingnya suara rakyat dalam menentukan kebijakan, no taxation without representation.
Alih-alih menaikkan tarif PPN 12% di tengah kondisi ekonomi yang masih lesu, pemerintah harusnya mengelola anggaran negara secara efektif dan efisien dengan mengurangi pemborosan anggaran negara, seperti menghindari pengeluaran yang tidak perlu atau mengurangi kegiatan yang bersifat seremonial yang tidak terlalu memiliki dampak signifikan bagi perekonomian masyarakat, maupun meningkatkan kinerja BUMN untuk mengoptimalkan aset negara.
Selain itu, pemerintah juga perlu tegas pada pelanggar pajak dan memburu pengemplang pajak. Saat hal tersebut tidak dilakukan, akan berpotensi mengirimkan sinyal bahwa pelanggaran pajak dapat dimaafkan dengan mudah, sehingga melanggengkan ketidakadilan. Bagi mereka yang taat pajak, akan menganggap bahwa tax amnesty merupakan privilege untuk lolos dari jeratan dan sanksi hukum yang berlaku. Terlebih, ada RUU yang lebih penting daripada tax amnesty, yaitu RUU Perampasan Aset.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H