Mohon tunggu...
Muhammad Zulfikar Yusuf
Muhammad Zulfikar Yusuf Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

من لم يذق مر التعلم, تجرع ذل الجهل طول حياته

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PPN 12 Persen dan Tax Amnesty

22 Desember 2024   18:31 Diperbarui: 22 Desember 2024   18:37 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menakar Urgensi PPN 12% dan Tax Amnesty

Tumpul ke atas, tajam ke bawah. Demikianlah kalimat yang tepat menggambarkan kebijakan yang dihadirkan pemerintah dalam waktu yang relatif bersamaan. Pemerintah menyodorkan kombinasi yang apik, Merawat Ketimpangan - Melanggengkan Moral Hazard. Pada satu sisi, kenaikan PPN akan semakin menyulitkan masyarakat kelas menengah ke bawah yang justru menjadi kontributor terbesar dalam konsumsi rumah tangga. Namun, pada saat yang sama, pemerintah justru memberikan keringanan pada kalangan atas dan perusahaan besar melalui wacana kebijakan tax amnesty, yang sebelumnya justru menghindari kewajiban pajak. Kebijakan ini merupakan cerminan dari pengabaian terhadap keberpihakan yang menihilkan nilai kemaslahatan.

Stiglitz, seorang pakar ekonomi dan peraih penghargaan Nobel bidang Ekonomi pada 2001, mengkritik kinerja pemerintah yang kerap melahirkan kebijakan yang justru merugikan masyarakat. Hal ini terjadi sebab regulator dan legislatif bekerja sama dalam mengendalikan rule of the game yang hanya menguntungkan orang-orang kaya saja. Akibatnya, kesenjangan semakin lebar dan justru semakin menjauh dari cita-cita menyejahterakan rakyat. Padahal, salah satu prinsip utama dalam konteks perpajakan menekankan tentang pentingnya suara rakyat dalam menentukan kebijakan, no taxation without representation.

Alih-alih menaikkan tarif PPN 12% di tengah kondisi ekonomi yang masih lesu, pemerintah harusnya mengelola anggaran negara secara efektif dan efisien dengan mengurangi pemborosan anggaran negara, seperti menghindari pengeluaran yang tidak perlu atau mengurangi kegiatan yang bersifat seremonial yang tidak terlalu memiliki dampak signifikan bagi perekonomian masyarakat, maupun meningkatkan kinerja BUMN untuk mengoptimalkan aset negara.

Selain itu, pemerintah juga perlu tegas pada pelanggar pajak dan memburu pengemplang pajak. Saat hal tersebut tidak dilakukan, akan berpotensi mengirimkan sinyal bahwa pelanggaran pajak dapat dimaafkan dengan mudah, sehingga melanggengkan ketidakadilan. Bagi mereka yang taat pajak, akan menganggap bahwa tax amnesty merupakan privilege untuk lolos dari jeratan dan sanksi hukum yang berlaku. Terlebih, ada RUU yang lebih penting daripada tax amnesty, yaitu RUU Perampasan Aset.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun