Dalam beberapa waktu terakhir, kita melihat situasi politik di negeri ini kian memanas. Mungkin saja, kondisi ini lumrah terjadi menjelang pergantian pemerintahan sebab masing-masing paslon melakukan kampanye untuk menggaet suara.Â
Para elite politik berlomba-lomba untuk menaikkan elektabilitas individu maupun partai yang diusungnya dengan mencoba dan menggunakan berbagai pola kampanye untuk mendapatkan perhatian publik.
Namun demikian, sering kali kampanye yang dilakukan oleh para politikus justru menggunakan pendekatan agresif, dengan saling menyebar hoax, menghina personal, hingga mematikan karakter lawan politik.Â
Begitu pula dengan polarisasi dan fragmentasi politik sering digunakan sebagai strategi untuk mendapatkan perhatian publik dengan seolah-olah berpihak pada kelompok yang termarjinalkan. Alih-alih mendapatkan suara dan hati masyarakat, strategi demikian justru dapat memecah belah keutuhan dan persatuan bangsa.
Belum lagi propaganda media dan informasi memiliki peran vital di dalam membangun pemahaman dan paradigma politik masyarakat kita. Media berperan penting di dalam meneruskan disinformasi untuk meyakinkan para pemilih.Â
Dalam upaya untuk memengaruhi hal tersebut, para elite politik menyebarkan beragam informasi yang menguntungkan diri dan kelompoknya, termasuk partainya, dengan menyebarkan segala bentuk informasi yang tidak akurat, belum tervalidasi kebenarannya, dan bahkan berita bohong.Â
Apalagi, di era seperti saat ini, bukan rahasia umum lagi jika media massa dapat dibayar untuk menyebarkan suatu informasi yang merugikan masyarakat, yang menihilkan etika pers. Kondisi ini tentu dapat memicu ketegangan politik yang semakin memanas.Â
Alih-alih menyampaikan ide dan gagasan tentang arah Indonesia ke depan dengan cara-cara yang santun dan teduh, para calon eksekutif dan legislatif ini memainkan segala cara demi menduduki jabatan dan mencapai kekuasaan. Isu-isu sensitif yang seharusnya membutuhkan kehati-hatian menjadi alat paling ampuh untuk mematikan lawan politik.Â
Dampaknya, pemilu yang seharusnya dapat menjadi momentum untuk menguatkan demokrasi dan meningkatkan kesadaran tentang perpolitikan di Indonesia justru semakin memperlebar konflik serta menegasikan nilai-nilai filosofis di dalam berbangsa dan bernegara.
Menggugat Netralitas Presiden
Di tengah berbagai diskursus dan dinamika politik tersebut, muncul satu persoalan baru yang menghinggapi perpolitikan Indonesia dan ditengarai dapat merenggut nyawa demokrasi dan keadilan politik, ialah keberpihakan Presiden.Â
Pernyataan Presiden yang baru-baru ini mengeluarkan statement tentang kebolehan Presiden berkampanye dan memihak pada salah satu paslon tentu dapat memunculkan efek domino dan konflik berkepanjangan.Â
Bagaimana tidak, Presiden dengan segala atribut dan fasilitas negara yang bertaut pada dirinya tentu berasal dari APBN yang dipungut dari pajak rakyat, sehingga harus digunakan untuk kepentingan masyarakat luas.
Walau kemudian UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum menyebutkan secara eksplisit bahwa Presiden & Wakil Presiden Mempunyai Hak Melaksanakan Kampanye, tetapi tidak etis rasanya jika Presiden menyampaikan hal tersebut di muka umum, di saat melakukan tugas kenegaraan, dan menggunakan fasilitas negara yang dibiayai oleh APBN. Ditambah lagi saat mengeluarkan pernyataan tersebut, Presiden didampingi salah satu kontestan capres, di mana publik secara tersirat dapat membaca bahwa dukungan itu mengarah kepada capres tersebut.
Presiden sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin tertinggi negara, seharusnya memberikan contoh dengan tetap menjaga netralitas sebagaimana yang digaungkan kepada ASN/TNI/POLRI dan seluruh pemangku kebijakan.Â
Hal demikian merupakan tanggung jawab moral bahwa Presiden harus berdiri di atas semua kepentingan dan tidak berpihak pada satu paslon tertentu. Pemilu yang sukses hanya dapat berjalan saat institusi negara, lebih-lebih kepala negara dan pemerintahan bersifat demokratis dan memahami perannya sebagai penjaga demokrasi.
Mencari Negarawan
Menjelang pemilu pada 14 Februari mendatang, masyarakat Indonesia membutuhkan sosok negarawan di tengah keringnya nilai-nilai politik yang berkeadaban. Sia-sia rasanya saat Indonesia sebagai bangsa yang besar tidak dipimpin oleh seorang pejabat publik yang tidak memiliki integritas yang kuat.Â
Indonesia membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki visi pembangunan jangka panjang yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan menempetkan kepentingan rakyat di atas segalanya.
Bangsa ini merindukan sosok negarawan yang memberikan teladan saat ia memimpin, yang baik tutur katanya, membesarkan yang kecil, tanpa mengecilkan yang besar. Sebab, sering kali kita menihilkan peran ini di dalam lanskap politik kita. Padahal pepatah Arab mengakatan, "salaamatul insaan fii hifzhil lisaan," keselamatan manusia itu terletak pada kemampuan ia menguasai lisannya.
Di samping itu, negeri kita juga membutuhkan pemimpin yang bukan hanya baik tutur katanya, namun juga santun perilakunya sebagai seorang politikus juga pejabat publik.Â
Seorang politikus sekaligus negarawan tentu akan mempromosikan persatuan sekaligus menjaga kestabilan politik melalui berbagai tindakannya. Sosok demikian melampaui sekat-sekat kelompok yang hanya berorientasi jangka pendek dan bersifat partisan. Upaya yang dilakukan semata-mata hanya untuk kemajuan bangsa.
Oleh karenanya, sebagai warga negara yang memiliki hak untuk menentukan masa depan melalui pemilu, pemilih harus cermat di dalam menentukan pilihan. Satu suara yang pemilih keluarkan akan menentukan ke mana arah bangsa ini akan dibawa. Keputusan yang pemilih ambil memiliki dampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan.
Keputusan ini tidak bersifat sementara yang hanya terjadi saat pemilu berlangsung, namun keputusan yang pemilih ambil memiliki dampak jangka panjang, di mana siapa yang terpilih akan menentukan keputusan penting mengenai kebijakan publik di negara ini di hampir seluruh sektor kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan dan lain sebagainya, sebagaimana yang dikatakan oleh Filsuf Jerman, Bertolt Brecht, "Buta terburuk adalah buta politik. Orang yang buta politik tidak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung keputusan politik."
Namun tentu perlu digarisbawahi, bahwa di atas itu semua, perbedaan pandangan, sikap dan pilihan politik merupakan sunnatullah dan pasti terjadi. Karena itu, kita perlu bersikap moderat di dalam menyikapi segala bentuk hasil dan konsensus politik, dengan tetap menjaga persatuan, persaudaraan dan keutuhan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H