Pesta Rakyat
Konon, bulan ini kita berpesta
merayakan keriaan yang datang 5 tahun sekali.
Oma, opa, kakak, adik, om, tante
berdandan cetar dan wangi
berbondong-bondong ke TPS masing-masing.
Semuanya larut dalam canda tawa
senda gurau
ngobrol ngalor-ngidul
atau reuni kecil-kecilan.
Sayangnya
di tengah-tengah pesta suara tangisan terdengar.
Riuh rendah mendadak berhenti.
Siapa gerangan yang berduka di saat seperti ini?
Semua mata memandang ke asal suara.
Seorang ibu paruh baya
mengaduk-aduk tas kulitnya lalu menumpahkan semua isinya di atas kursi.
Yang dicari tetap belum ditemukan.
Bedak, eyeliner dan gincunya ambyar karena linangan air mata.
Surat undangan saya hilang! serunya lalu kembali menangis tersedu-sedu.
Langit yang tadinya biru cerah mendadak hitam gelap
lalu angin bertiup kencang membawa apa saja yang bisa diterbangkan
tissue, surat suara, kain pembatas, taplak meja dan juga nyali penghuni bumi.
Hujan pun turun dengan deras seperti ditumpahkan dari tempayan raksasa di langit.
Rakyat berlarian ke rumah masing-masing, diikuti petugas KPPS yang sudah kehabisan nyali.
Selembar kertas diacungkan tinggi-tinggi ke langit
"Sudah ketemu!" seru ibu paruh baya pemilik tas kulit.
Sekonyong-konyong badai berhenti dan matahari menyapa kembali dari balik awan.
Tapi apa daya
Tenda TPS sudah ambruk dan bilik suara berserakan.
Pesta sepertinya belum bisa dilanjutkan
sampai jangka waktu yang belum bisa ditentukan.
---
Cokelat di Tangan Kanan, Kondom di Tangan Kiri
Pintu merah jambu terbuka
di baliknya ada sepasang mata malu-malu
dan segaris senyum malu-malu
dari lelaki muda hampir melewatkan waktu janjian.
Di sisi pintu yang lain
pun ada sepasang mata malu-malu
segaris senyum malu-malu
dari gadis muda yang menyambut hangat
Nampaknya keduanya sedang kasmaran.
Lelaki pun mengulurkan hadiah yang disembunyikan di balik punggungnya
Cokelat di tangan kanan dan kondom di tangan kiri
"Kamu hanya boleh memilih salah satu," ucapnya malu-malu.
Gadis berpikir sejenak,
"bagaimana kalau aku ingin keduanya?" tanyanya hati-hati.
Laki-laki muda menatap tidak percaya.
Dua menit kemudian
pintu merah jambu tertutup rapat.
Di bawah pintu tertinggal kondom yang sepertinya tidak jadi pilihan.
Apakah kedua orang muda itu sedang merajut kisah untuk Februari?
atau mereka sedang membangun peradaban mereka sendiri dari gigitan demi gigitan cokelat yang jadi hadiah?
Kita tidak pernah tahu.
Yang jelas, warna pintu yang tertutup rapat itu sudah berubah
dari merah jambu menjadi merah darah.
---
Surat Cinta Calon Presiden
Di bawah bulan setengah purnama, tuan calon presiden menuliskan surat cinta untuk masyarakat yang akan memilihnya. Surat cinta itu ditulis dengan tangan, ditulis sepenuh hati, seolah dia akan bersurat pada belahan jiwanya sendiri.
Saat malam berganti fajar, dia baru menuntaskan surat cinta itu. Berjam-jam lamanya dia menorehkan huruf demi huruf dan kata demi kata, sehingga surat cinta yang terlahir berlembar-lembar panjangnya.
Dia lalu melipat semua lembar surat cintanya itu menjadi pesawat-pesawat kertas yang tidak terhitung jumlahnya. Lalu naik ke balkon rumah dan menerbangkan semua pesawat kertas itu ke segala arah, ke timur, ke barat, utara dan selatan. Angin pun membantu mengantarkan surat cinta berbentuk pesawat kertas itu kepada siapa saja yang layak menerimanya.
Setelah itu tuan calon presiden menunggu. Satu menit, dua menit, lima menit, satu jam, belum ada satu pun surat balasan yang tiba, bahkan setelah berjam-jam kemudian.
Tapi calon presiden tetap tersenyum dengan bijak. Cinta tertulus sekalipun membutuhkan waktu untuk diterima dan dibalas, prinsipnya.
Tepat setelah dia menuntaskan makan siangnya, sebuah pesawat kertas masuk dari jendela kamar dan jatuh di atas meja kerjanya. Ah, ada yang membalas surat cintanya. Calon presiden pun membuka pesawat kertas itu. Dia mengingat ini lembaran surat cinta yang paling terakhir diselesaikannya.
Tulisan tangannya masih jelas tertera di halaman depan
".... demikianlah saudara-saudariku. Aku bukan konglomerat super kaya yang bisa menjanjikan banyak hal untuk kalian. Aku juga tidak bisa menjanjikan negeri kita akan berubah menjadi lebih baik dalam satu malam saat aku terpilih nanti.
Tapi aku punya cinta seluas samudera untuk kalian semua, cinta yang menjadi panduan untuk karya-karya dan pelayanan yang kalian percayakan. Salam dariku"
Di halaman belakang surat tersebut ada tulisan tangan yang lain, balasan dari sang penerima surat
"Tuan calon presiden, tidak perlu cinta seluas samudera untuk kami. Seluas halaman kertas folio sudah cukup, tapi pastikan cinta itu selalu ada pada setiap surat-surat keputusan yang anda tandatangani. Salam dari pendukung setia anda.."
Tuan calon presiden termenung panjang. Satu surat balasan sepertinya sudah cukup untuk seluruh surat cinta yang dikirimkannya.
---
barombong, hari kedua februari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H