Debat cawapres tanggal 21 Januari 2024 yang mengangkat tema: Pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup, Sumber Daya Alam dan Energi, Pangan, Agraria serta Masyarakat Adat dan Desa sudah selesai digelar. Topik debat ini sebenarnya sangat serius dan menarik untuk didalami karena menyangkut kemaslahatan hidup kita bersama.
Sayangnya, saya amati percakapan di lini masa pasca debat lebih didominasi percakapan mengenai gimmick Mas Gibran, bukan substansi materi debatnya.
Memang setiap kontestan pasti punya strategi tersendiri agar tampil bersinar pada panggung debat untuk meninggalkan "kesan" di mata dan hati para calon pemilih.
Secara garis besar saya melihat Cak Imin tampil lebih moderat dan percaya diri dibanding debat sebelumnya. Prof Mahfud MD dengan gaya khas sebagai seorang praktisi sehingga jawaban dan penjelasan-penjelasan selalu dikaitkan dengan aspek hukum (sesuai kepakarannya).Â
Mas Gibran sendiri seperti debat sebelumnya selalu ingin menonjolkan sensasi dibanding esensi. Dan sepertinya sukses besar, melihat percakapan---percakapan yang terjadi di tengah-tengah warganet pasca debat semalam.
Yang menarik adalah ada frase yang diungkapkan Cak Imin yaitu "Tobat Ekologis", mengutip tulisan Paus Fransiskus tentang isu lingkungan yang tertuang dalam Buku Ensiklik Laudato Si'. Ensiklik ini diterbitkan pada bulan Mei tahun 2015, jadi sudah hampir 9 tahun yang lalu. Tapi tulisan-tulisan Paus Fransiskus dalam ensiklik tersebut tetap aktual dan semakin aktual sampai hari ini.
Laudato Si'
Ensiklik dapat diartikan sebagai surat edaran dari Paus untuk diteruskan ke para pemimpin Gereja dan umat berisi pesan-pesan Paus dari sudut pandang iman menyikapi isu-isu tertentu. Laudato Si' (dari bahasa Italia Tengah yang berarti Terpujilah Engkau ) sendiri adalah ensiklik yang sifatnya sangat universal.Â
Dalam ensiklik ini Paus Fransiskus menggambarkan ibu bumi sebagai rumah kita bersama dan mengajak kita semua mengambil peran yang signifikan sesuai kapasitas masing-masing untuk menyelamatkan rumah kita bersama ini dari kerusakan demi kerusakan yang terjadi karena ulah kita sendiri.
Selama ini Paus Fransiskus memang dikenal cukup concern terhadap isu iklim dan lingkungan. Kerap kali pemimpin tertinggi umat Katolik ini melontarkan pandangan kristisnya terhadap ketimpangan global dan eksploitasi alam yang berlebihan imbas dari kebijakan pembangunan yang diambil para pemimpin negara.
Saya sendiri "berkenalan" lebih dalam dengan Laudato Si' pada tahun 2017 lewat salah satu training (atau mungkin lebih tepatnya disebut retret tentang lingkungan) di Eco Camp, Bandung, yang dikelola oleh Romo Ferry dan Tim dari Yayasan Sahabat Lingkungan Hidup.Â
Melalui materi dan aktivitas selama beberapa hari di sana, saya dan kawan-kawan peserta kegiatan diberi penyadaran tentang perubahan alam yang sedang terjadi dan motivasi untuk berkontribusi pada kelestarian lingkungan dan keutuhan alam ciptaan Tuhan.
Isu tentang perubahan iklim dan ancamannya pada umat manusia sesungguhnya bukan sesuatu yang ada di ambang mata tapi sudah dan sedang kita alami. Pemanasan global yang memicu anomali iklim adalah salah satu contohnya. Ancaman perubahan iklim akan semakin terasa jika manusia tidak mengambil langkah yang signifikan, drastis dan menyeluruh untuk memperbaiki kerusakan tersebut.
Pada beberapa kesempatan lainnya saya juga mengikuti pelatihan, workshop atau lokakarya bertema lingkungan dan semakin akrab dengan istilah-istilah seperti carbon footprint, climate change, audit energi, net-zero emission dan lain-lain. Benang merah dari semua itu adalah: harus ada aksi dan segera!
Inilah yang menjadi dasar dari ungkapan Tobat Ekologis yang muncul dalam Laudato Si' dan dikutip oleh Cak Imin. Manusia harus menyadari diri memiliki andil dalam dosa-dosa ekologis (entah kecil atau besar) yaitu kerusakan lingkungan yang sedang terjadi  dan berkomitmen untuk mengubah kebiasan atau habitus serta ikut andil dalam memperbaiki kerusakan tersebut.
Aksi untuk Lingkungan
Setiap orang baik secara individu maupun kolektif dapat mengambil aksi dalam tobat ekologis ini. Di kantor kami misalnya, sudah beberapa tahun terakhir ini tidak lagi menggunakan air mineral kemasan saat lokakarya atau pelatihan-pelatihan internal.
Sebagai gantinya kami meminta para peserta membawa sendiri botol air minumnya sehingga panitia tinggal menyiapkan galon isi ulang saja di kantor atau di lokasi kegiatan. Hal ini menjadi upaya kami untuk mengurangi produksi sampah plastik setelah kegiatan berlangsung.
Kemudian kantor kami juga menggunakan instalasi panel surya untuk mendukung kebutuhan penggunaan energi listrik. Memang sistemnya masih hibrid, berjalan bersamaan dengan supply listrik dari PLN. Tapi dengan panel surya tersebut, kami bisa menghemat 30%-35% dari penggunaan energi listrik PLN.
Untuk aksi yang sifatnya pribadi, saya semakin sadar untuk meminimalkan jejak karbon dengan menghemat listrik seperti mematikan lampu-lampu yang tidak digunakan, menghidupkan AC saat benar-benar perlu saja, tidak membiarkan charger gawai tertancap di stop kontak saat tidak digunakan dan seterusnya.Â
Kemudian, jika akan membeli sesuatu di luar kantor untuk jarak dekat saya lebih memilih berjalan kaki dibanding menggunakan kendaraan. Atau jika harus membeli beberapa keperluan di toko yang berbeda (yang jaraknya tidak terlalu berjauhan), saya akan memarkir motor di satu titik lalu berjalan kaki ke toko-toko tersebut.
Untuk mengurangi sampah plastik, saya membawa botol air sendiri jika ada tugas keluar kantor. Ini sudah menjadi kebiasaan supaya jika kehausan di tengah, jalan tidak perlu singgah membeli air mineral kemasan lagi. Begitu pula menolak kantong plastik dari minimarket jika membeli barang dalam jumlah sedikit.Â
Syukurlah saat ini sejumlah minimarket sudah menerapkan aturan untuk tidak memberikan plastik guna menampung belanjaan para pembeli. Kalaupun pembeli lupa membawa kantong belanja sendiri, mereka tetap menyiapkan eco-bag yang berbayar.
Beberapa kebiasaan baik untuk lingkungan mungkin sudah ada yang diterapkan sebelumnya. Tapi sebelumnya yang menjadi motivasi utama lebih kepada penghematan, saat ini sudah ada insight baru  yaitu sebagai wujud kontribusi terhadap upaya menyelamatkan lingkungan.
Memang mungkin terlihat sederhana dan berdampak sangat kecil pada lingkungan serta perubahan iklim. Tapi jika kesadaran ini menjadi milik bersama pada berbagai tingkatan mulai dari pribadi, Â komunitas, masyarakat sampai para pemimpin dan pengambil keputusan strategis, tentu aksi untuk lingkungan ini akan menjadi lebih berdampak.
Nah, isu inilah yang mestinya diasah dalam forum debat cawapres semalam karena pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup menjadi salah satu tema debat.Â
Selain menjadi forum untuk mendengarkan misi visi para paslon (yang diwakili capres masing-masing), debat juga mestinya bisa jadi forum untuk mengedukasi masyarakat mengenai isu-isu yang terkait dalam tema tersebut. Bagaimana para calon pemimpin negara menyikapi kerusakan lingkungan yang sedang kita alami dan strategi apa yang akan ditempuh di berbagai lini untuk membenahi kerusakan tersebut.
Hanya sekali lagi, sayang seribu sayang, setelah debat berlalu, kita justru lebih mengingat sensasi dan atraksi debatnya, alih-alih substansi dari debat tersebut.
Masing-masing cawapres memang sudah mengungkapkan ide dan strategi terkait topik tersebut, tapi saya amati jangkar dari sebagian besar pembahasan masih berputar-putar di sektor ekonomi saja.Â
Untunglah frase "Tobat Ekologis" terungkap sehingga kita bisa kembali benar-benar memberi fokus pada isu lingkungan walaupun hanya sejenak. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bisa melengkapi sudut pandang pembaca pasca debat cawapres semalam (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H