Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kita Semua Bisa Jadi Pilatus Dalam Versi yang Lain

7 April 2023   20:15 Diperbarui: 9 April 2023   10:36 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Ecce Homo" oleh Antonio Ciseri - wikipedia

Pengadilan Pilatus adalah salah satu kisah yang menarik pada pembacaan passio atau kisah sengsara Yesus Kristus, yang diperingati oleh umat kristiani setiap Jumat Agung. Pontius Pilatus sendiri adalah wakil dari Kaisar Roma yang memerintah wilayah Yudea saat itu.

Puncak dari pengadilan Pilatus adalah adegan cuci tangan di depan khalayak untuk menegaskan dia tidak mau bertanggungjawab terhadap hukuman yang dijatuhkan kepada Yesus. Tapi di luar keputusannya yang kontroversial itu, kita juga harus tetap memberi apresiasi, karena berkat keputusan berat sebelah tersebut, rencana penebusan dosa manusia melalui sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus pun bisa berjalan mulus.

Peristiwa pengadilan Pilatus bisa memberi kita pelajaran hidup yang berharga. Peristiwa ini tetap aktual bahkan ribuan tahun setelahnya.

Mari kita coba menarik benang merah antara pengadilan Pilatus dengan kehidupan modern kita saat ini.

Cuci Tangan

Cuci tangan yang dimaksud di sini adalah simbol dari menyelamatkan diri sendiri. Wah, ini ciri khas manusia modern banget.

Di tengah kehidupan yang bergerak cepat dan dinamis (malah sering kali kita seperti terengah-engah mengejar laju kehidupan) sikap menyelamatkan diri sendiri jadi seperti hal mutlak yang harus dilakukan.

Bagaimana mau memperhatikan orang lain kalau diri sendiri saja belum tentu selamat! Bagaimana mau mikir orang lain kalau masalah diri sendiri saja sudah banyak! Demikian kita biasa membela diri.

Saat terjadi masalah di tempat kerja, misalnya, semua orang akan berlomba-lomba mengamankan diri sendiri. Yang salah mencari celah dan melemparkan kesalahan pada pihak lain, yang merasa benar menyembunyikan diri di balik prosedur dan peraturan-peraturan lainnya.

Padahal sebuah kesalahan biasanya melibatkan lebih dari satu pihak, hanya kadar kesalahannya saja yang berbeda-beda. Tapi karena semua kompak cuci tangan, akar permasalahan tidak ditemukan dengan tuntas dan akhirnya problem solving-nya pun tidak efektif.

Lawan dari cuci tangan ala Pilatus adalah bersedia menerima tanggung jawab. Dalam kehidupan kita, bersedia menerima tanggung jawab berarti harus bersedia pula melakukan pengorbanan (kecil atau besar). Ini yang membuat banyak orang enggan melakukannya. Tapi mari kita membayangkan betapa dunia ini bisa jadi tempat yang lebih baik, jika semua orang bersedia berbagi tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah bersama.

Tidak usah berpikir terlalu jauh, kita bisa mulai dengan hal-hal sederhana di sekitar kita. Bersedia membersihkan area kerja sendiri di kantor sekalipun ada tenaga cleaning service, bersedia membantu teman kerja yang sedang kesulitan sekalipun itu berarti kita harus bekerja ekstra, bersedia membuang sampah di tempatnya saat berada di ruang publik seperti bioskop dan restoran, bersedia berbagi rezeki lewat proyek amal, bersedia mengurangi jejak karbon (mengurangi sampah plastik, hemat listrik, hemat BBM dan seterusnya) untuk mendukung lingkungan hidup dan lain-lain.

Tidak Objektif Memberi Nilai

Sering kali kita tidak bisa dengan merdeka memilah terang dari gelap, kebenaran dari kesalahan, kejujuran dari dusta. Penyebabnya adalah kita cenderung memberi penilaian secara subjektif. Siapa saja orang yang terlibat? Bagaimana hubungan orang tersebut dengan saya selama ini? Apakah keputusan ini berdampak menguntungkan atau merugikan bagi saya? dan seterusnya. Akibatnya adalah kita membuat keputusan yang bisa merugikan orang lain, entah kita sadari atau tidak.

Memberi nilai atau membuat keputusan secara jernih dan objektif masih jadi tugas yang berat bagi banyak orang, termasuk bagi saya.

Fenomena ini pun sudah terjadi sejak ribuan tahun yang lalu. Saat mengambil keputusan yang menyangkut nyawa orang lain pun, Pilatus masih menjadikan pertimbangan kepentingan pribadi sebagai pertimbangan utamanya.

Jadi apa yang harus dilakukan? Ya, mau tidak mau harus terus belajar, sekalipun tidak mudah. Kita juga bisa mulai dengan hal-hal sederhana.

Misalnya, di tempat kerja ada rekan satu tim (yang selama ini selalu kita anggap sebagai rival) ternyata mendapat promosi dan terpilih memimpin tim kita. Mungkin kita langsung menganggap ini karena kedekatannya dengan bos besar, atau dia menggunakan cara-cara yang tidak benar untuk mendapat posisi tersebut.

Nah, dibanding reaktif seperti itu, lebih baik kita belajar dari kualitas dan kinerja apa yang membuatnya terpilih pada posisi tersebut. Lalu dibanding membiarkan penilaian subjektif meracuni cara berpikir kita, bukankah lebih baik kita memberi apresiasi dan mendukung sepenuh hati agar kinerja tim lebih baik?

Memberi nilai atau membuat keputusan secara objektif, mungkin memang bisa berujung pada hal yang merugikan kita. Tapi hal ini tetap lebih bernilai, dibanding membuat keputusan secara subjektif yang pada akhirnya membawa dampak yang fatal bagi orang lain.

Mencampuradukkan Masalah

Para pemuka agama Yahudi saat itu tidak bisa menghukum Yesus secara langsung, jadi meminta legitimasi dari Pilatus sebagai wakil kaisar. Setelah mengadakan penyelidikan, Pilatus pun sebenarnya tahu Yesus tidak punya kesalahan apapun. Dia hanya jadi korban dari kebencian para pemuka agama.

Dari sini kita melihat, perselingkuhan agama dan politik sebenarnya sudah terjadi sejak dahulu. Jadi jika terjadi lagi di zaman modern, hal tersebut hanya pengulangan sejarah saja dengan versi yang lebih kekinian. Pelajaran yang bisa kita petik adalah campur aduk permasalahan seperti ini tidak akan membuahkan hasil yang baik.

Belum lama terjadi pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 oleh FIFA. Pemicunya adalah ada suara-suara penolakan dari sebagian politisi tanah air atas hadirnya tim Israel yang lolos kualifikasi. Kasus ini jadi polemik panjang sampai hari ini.

Mungkin kita pun sering menjadi tidak netral karena tidak bisa memilah bahkan cenderung mencampuradukkan masalah yang satu dengan masalah yang lain. Kita bisa mengungkit masalah-masalah yang terjadi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun yang lalu saat konflik dengan pasangan, saat menegur bawahan karena terlambat mengirim laporan, kita malah jadi mengungkit masalah-masalah lain yang sifatnya pribadi dan tidak berhubungan sama sekali dengan urusan laporan dan contoh-contoh lain.

Kita harus belajar untuk lebih fokus, agar permasalahaan dalam kehidupan lebih mudah ditemukan solusinya. Semakin kita mencampuradukkan permasalahan, semakin lama kita menemukan solusinya, bahkan semakin jauh jarak kita dari orang-orang di sekitar kita.

Demikian pelajaran-pelajaran hidup yang bisa kita petik dari pengadilan Pilatus dalam kisah sengsara Yesus Kristus. Terlepas dari kesalahan-kesalahan yang sudah dibuatnya, kita tetap harus berterimakasih karena sesungguhnya kita semua bisa jadi Pilatus dalam versi yang lain. (PG)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun