Kiat terakhir ini lebih berguna untuk membersihkan beranda kita dari peluang kehadiran orang-orang yang kita anggap menyebalkan. Misalnya mereka yang flexing-nya berlebihan, mereka yang suka mengeluarkan kata-kata toxic, yang suka menampilkan konten kekerasan, pornografi dan lain-lain.
Gunakan fitur-fitur untuk membuat unggahan orang-orang ini tidak muncul lagi di beranda kita, tanpa meninggalkan pertemanan. Setiap aplikasi medsos punya fitur khusus dengan tujuan seperti ini. Misalnya ada fitur mute di Twitter, di Instagram ada fitur hide dan di Facebook ada fitur snooze post. Â
Mengabaikan atau menghindari orang-orang seperti ini juga termasuk dalam anjuran para filsuf Stoa. Kita bisa memilih menghindar dari pertemanan dengan orang-orang yang bisa membawa pengaruh negatif pada diri kita. Memang ada prinsip dikotomi kendali. Tapi jauh lebih baik jika kita bisa menghindarinya dari awal.
Marcus Aurelius, Kaisar Romawi yang juga penganut Stoa menganalogikan orang-orang seperti ini dengan ketimun pahit. Marcus mengatakan, kalau mendapat ketimun pahit, ya dibuang saja, tidak usah dimakan lalu ngomel-ngomel sendiri.
Demikian beberapa aplikasi sederhana filosofi Stoa untuk menghadapi orang-orang menyebalkan di media sosial kita.
Sebenarnya prinsip-prinsip ini bisa diterapkan lebih luas dalam penggunaan media sosial kita. Bayangkan apa yang terjadi jika banyak warganet berinteraksi dengan adem dan kondusif? Tidak perlu ada permusuhan dan gontok-gontokan di media sosial kita.
Saya jadi teringat pada dinamika di lini masa media sosial setiap kali perhelatan pilpres digelar. Masyarakat dan warganet terpolarisasi sedemikian rupa. Suasana panas karena kubu-kubu warganet yang berseberangan saling serang dengan kampanye hitam dan hoax. Perseteruan ini biasanya diawali dari akun-akun tertentu yang memang gemar menebar provokasi.
Jika banyak warganet yang sudah bermedia sosial menggunakan filosofi Stoa, akun-akun provokator pasti tidak bisa berbuat banyak. Perbedaan pendapat dan pilihan politik akan disikapi dengan bijak karena itulah konsekuensi dari sebuah kontes politik. Tapi hal ini tidak lalu berujung pada permusuhan dan caci maki di lini masa. Konten-konten yang bersifat kebencian itu bisa diibaratkan seperti api yang siap membakar, sedangkan Stoa bisa diibaratkan seperti air yang akan memadamkan api tersebut.
Kembali ke topik kita. Orang-orang menyebalkan akan selalu ada baik di dunia nyata, maupun di dunia maya. Ini adalah konsekuensi logis dari hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Dengan menerapkan filosofi Stoa saat berinteraksi dengan mereka, kita dapat menempatkan diri lebih baik dan tidak perlu tenggelam dalam emosi-emosi negatif yang justru dapat berakibat kurang baik bagi diri kita sendiri. (PG)
Baca juga:
Seni Blogging Menggunakan Dikotomi Kendali dari Filosofi Stoa