Referensi saya adalah buku Filosofi Teras yang ditulis oleh Henry Manampiring. Mari kita simak satu per satu.
Prinsip Dikotomi Kendali
Ini prinsip utama yang harus kita dalami. Dalam dikotomi kendali kita harus memilah hal-hal dalam hidup kita menjadi hal-hal yang bisa kita kendalikan dan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan (Pembahasan lebih panjang mengenai Dikotomi Kendali ini bisa dibaca pada tulisan yang lain. Tautannya saya taruh di bawah tulisan ya).
Nah, dalam media sosial, hal-hal yang bisa kita kendalikan adalah persepsi, emosi dan jempol kita sendiri. Sedangkan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan adalah persepsi, emosi dan jempol orang lain. Saat menghadapi orang-orang menyebalkan yang mungkin memberi komentar jelek di beranda sosial kita, sadarlah, kita tidak bisa mengendalikan apa yang ada di pikirannya dan kata-kata yang sudah ditulisnya. Hal tersebut telah menjadi sebuah fakta. Jadi lebih baik kita memikirkan cara kita memberi respons.
Misalnya pada komentar "Ini fotonya asli atau fake, ya?" seperti yang sudah dituliskan di atas. Jika hanya fokus pada komentar tersebut, kita mungkin akan langsung berpikir demikian, "Sialan! Dia pikir saya tidak punya duit buat liburan?" yang bisa merembet pada pikiran "mentang-mentang kantornya lebih besar dan posisinya lebih bagus, hmm, itu pun belum tentu dia promosi karena kinerja, ya. Bisa saja karena penjilat atau malah karena ada main sama bos." Akhirnya kita memutuskan untuk "tunggu saja, saya stalking media sosialnya. Pasti ketemu jejak digital yang bisa membuka kebobrokannya."
See, bisa jadi sepanjang itu. Padahal faktanya hanyalah komentar berupa pertanyaan fotonya asli atau palsu. Selebihnya adalah persepsi kita terhadap komentar tersebut. Jadi alih-alih berprasangka terhadap pemilik komentar yang malah membuat kita jadi berpikiran negatif berkepanjangan, kita bisa menjawab komentar tersebut dengan "Fotonya asli kok, Kakak."
Kalau si pemberi komentar masih tidak percaya, ya, berarti masalahnya ada pada dia. Sekali lagi, kita tidak bisa mengendalikan persepsi dan pikirannya. Â
It Takes Two to Tango
Sering kali ada komentar sesama warganet yang bersifat menghina atau merendahkan kita. Menurut filosofi Stoa, penghinaan baru bisa terjadi jika salah satu pihak melontarkan kata-kata berisi hinaan dan pihak yang satu memang merasa terhina dengan kata-kata tersebut. Ini maksud dari It takes two to tango.
Sebaliknya, jika pihak yang satu anteng saja menanggapinya dan tidak terpengaruh dengan hinaan tersebut, maka tidak ada yang akan terhina. Sama seperti seorang pengunjung galeri menghina dan mengata-ngatai lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh sebagai lukisan yang jelek dan murahan. Apa dengan hinaan tersebut lukisannya jadi benar-benar jelek dan murahan? Sama sekali tidak, bukan?
Jadi jika ada yang mengomentari kita dengan ketus "Ah, sok bijak lu," atau "Kamu jelek," santai saja. Kualitas kita tidak akan berkurang hanya dengan komentar seperti itu. Cukup reply dengan emoticon senyum. Atau kita bisa juga mengingatkan kawan kita ini bahwa kata-katanya kurang etis.Â
Kalau dia tetap membalas dengan kasar, ingat lagi prinsip dikotomi kendali di atas. Pikiran dan jempolnya bukan di bawah kendali kita. Tidak usah ambil pusing, tinggalkan saja percakapan tersebut. Toh kalau ada orang lain yang membaca beranda, mereka bisa menilai siapa yang positif dan siapa yang negatif.
Dengan demikian, kita sudah berusaha membuat suasana tetap kondusif. Bayangkan kalau kita juga membalas dengan hinaan, wah, bisa tambah panas jadinya. Dengan balasan yang adem, syukur-syukur dia bisa sadar diri dan lain kali bisa lebih bijak memilih kata-kata saat bermedia sosial.