Tulisan Kompasianer Irwan Rinaldi Sikumbang tentang indikasi TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) di koperasi membuat saya teringat pada berita yang muncul di linimasa beberapa hari lalu. PPATK mengendus adanya indikasi pencucian uang yang terjadi sepanjang tahun 2020-2022 di 12 koperasi simpan pinjam. Jumlahnya mencengangkan, mencapai lebih dari 500 triliun Rupiah.
Kalau kita hitung-hitungan cepat dengan membagi rata 500 triliun ke 12 koperasi tersebut, didapat angka sekitar 41,67 triliun untuk 1 koperasi. Lalu kita bagi tiga tahun (2020-2022) diperoleh angka rata-rata 13,89 triliun per tahun atau 1,16 triliun per bulan. Dengan pergerakan dana sebanyak itu bisa dipastikan koperasinya bukan koperasi beraset kecil.
Sebagai ilustrasi, katakanlah satu koperasi beranggotakan 10.000 orang. Untuk mencapai angka 1,16 triliun tersebut, setiap anggota harus menabung Rp116.000.000 per bulan. Wow! Ini angka rata-rata ya. Tidak semua orang memiliki kemampuan menabung sebanyak itu setiap bulan, pasti hanya segelintir orang saja. Dan karena hanya segelintir orang saja, sudah pasti angkanya juga jauh lebih besar dari angka rata-rata tersebut.
Oke. Ilustrasi di atas hanya pemanis saja. Kita kembali ke topik kita, pencucian uang di koperasi.Â
Pada tahun 2014 (atau 2015, saya lupa persisnya) saya pernah mengikuti pelatihan bertema pelaporan transaksi keuangan yang dilaksanakan Dinas Koperasi dan UMKM berkolaborasi dengan PPATK yang menghadirkan utusan dari sejumlah koperasi di Kota Makassar.
Materi pelatihan ternyata tidak terlalu menarik minat sejumlah peserta karena pelaporan harus menggunakan aplikasi khusus berbasis internet. Sementara saat itu teknologi informasi di koperasi belum jauh berkembang seperti saat ini.Â
Seingat saya ada salah satu ibu yang sampai tidak setuju dengan aplikasi tersebut, karena takut nanti ada hacker yang masuk ke sistem mereka dan mencuri uang anggota koperasi. Saya senyum-senyum saja. Saya yakin pernyataan ini muncul karena si ibu belum paham benar bagaimana mekanisme pelaporan tersebut. Bagaimana mau ada hacker kalau aplikasinya diisi terpisah.
Peserta yang lain kurang antusias begitu melihat ketentuan-ketentuan pelaporan yang selama ini tidak pernah terjadi. Seperti contoh kewajiban koperasi melapor jika terjadi transaksi dengan nilai Rp500.000.000 ke atas. Boro-boro Rp500.000.000, angsuran pinjaman yang hanya tiga ratus empat ratus ribu saja susah ditagih. Demikian komentar yang banyak muncul saat itu.
Ya, mungkin karena di koperasi para peserta tidak pernah ada kejadian yang membutuhkan pelaporan. Tapi sebenarnya yang mau ditegaskan lewat pelatihan tersebut adalah sejak awal PPATK melihat koperasi simpan pinjam bisa jadi penyedia jasa keuangan yang rentan terhadap pencucian uang. Apalagi saat itu digitalisasi koperasi belum banyak diterapkan seperti sekarang. Ini membuat koperasi jadi seperti berada di luar radar lembaga pengawas transaksi keuangan, sehingga bisa jadi tempat yang empuk untuk terjadinya TPPU.
Ini membuat membuat pemerintah selaku regulator semakin mawas diri dan memberi perhatian lebih kepada koperasi-koperasi di tanah air belakangan ini, ditambah lagi dengan munculnya koperasi-koperasi bermasalah. Ini pula yang mendorong lahirnya undang-undang PPSK dan penerapan pengawasan dari otoritas yang berbeda untuk koperasi yang bersifat opened loop dan closed loop.
Undang-undang PPSK ini kabarnya akan diberlakukan bertahap sampai benar-benar efektif pada tahun 2024. Jadi selama masa transisi ini Kementerian Koperasi dan UMKM akan mengadakan pembinaan kepada koperasi-koperasi yang masih membutuhkan pembenahan, khususnya pada tata kelola koperasinya.
Kiat Meminimalkan TPPU
Nah, untuk koperasi simpan pinjam sendiri, risiko terjadinya TPPU ini sebenarnya dapat diminimalkan dengan benar-benar menjalankan prinsip-prinsip koperasi yang baik.
Salah satunya adalah menerapkan prinsip distribusi kepada anggota dan pelayanan kepada anggota untuk mengatur keseimbangan rasio keuangan koperasi.
Contoh implementasinya adalah memberlakukan pembatasan jumlah setoran tabungan untuk anggota. Pengurus harus merumuskan kebijakan untuk menentukan berapa maksimal tabungan yang dapat disetor anggota. Bisa diatur per transaksi atau juga setoran dalam sebulan.
Kok orang menabung dibatas-batasi sih? Ini pertanyaan yang biasa muncul dari anggota.
Di Credit Union kami sejumlah anggota juga biasa bertanya demikian jika baru bergabung. Bisa diduga, pertanyaan itu datang dari mereka yang memang memiliki kemampuan keuangan lebih. Jawaban sederhananya adalah karena penerapan prinsip koperasi itu sendiri: dari, oleh dan untuk anggota. Jadi koperasi harus memperhitungkan dengan seksama rasio-rasio keuangannya termasuk sumber dan penggunaan dana agar tidak ada tata kelola yang melanggar prinsip tersebut.
Jika uang masuk tidak dibatasi, ada kemungkinan likuiditas koperasi menjadi terlalu tinggi. Jika likuditas tersebut tidak mampu diputar kembali ke anggota dalam bentuk pinjaman, maka terjadilah keadaan idle money di koperasi tersebut. Biasanya solusi tercepat yang ditempuh oleh pengurus atau pengelola adalah menyetor ke pihak ketiga seperti perbankan. Lewat instrumen keuangan pada pihak ketiga ini, dana tersebut bisa lebih menghasilkan ketimbang hanya mengendap di dalam brankas.
Ini cara yang biasa ditempuh. Tapi lazimnya ini hanya untuk menjaga likuiditas koperasi agar tidak semuanya berupa idle money. Hanya saja proporsinya tetap harus diatur dengan baik. Bayangkan kalau pada akhirnya jumlah aset koperasi yang dikelola pihak ketiga jadi lebih banyak dibanding yang dipinjam oleh anggota sendiri. Ini artinya prinsip dari, oleh dan untuk anggota sudah tidak berjalan dengan baik lagi.
Bahaya lain yang muncul jika idle money terlalu banyak adalah pengurus mulai tergoda memutar uang koperasi pada skema-skema investasi lain karena tergiur dengan imbas hasil yang ditawarkan. Ini juga sudah kerap terjadi.Â
Pada beberapa kasus, anggota tidak dapat menarik uangnya lagi karena ternyata uang koperasi sudah terlanjur ditempatkan pada investasi-investasi jangka panjang seperti properti dan lain-lain.
Memberikan Pinjaman Jor-joran
Mungkin juga ada pengurus yang berpikir demikian, tidak apa-apa uang masuk tidak dibatasi, nanti kita kasih pinjaman jor-joran ke anggota. Dikasih pinjam besar-besar saja, yang penting koperasi kuat menagih dan mengamankan agunan. Atau bisa juga kita kasih pinjaman ke pihak ketiga yang sedang butuh pendanaan besar, untuk menjalankan proyek, misalnya.
Sepintas lalu, argumen ini mungkin saja benar. Tapi justru inilah cara pikir yang pada akhirnya bisa berbalik menyandera koperasi.
Pertama, pinjaman dari koperasi semestinya digunakan untuk semaksimal mungkin memenuhi kebutuhan dan memberdayakan anggota. Mencairkan pinjaman tanpa analisis kredit yang matang hanya agar pinjaman bisa berputar dengan cepat pada akhirnya bukan membantu, tapi malah menyusahkan anggota.
Kedua, memberi pinjaman dengan fokus pada penagihan dan penyitaan agunan bukanlah model bisnis koperasi. Kalau seperti itu solusi untuk anggota, tidak perlu koperasi, sudah banyak lembaga pembiayaan di luar sana. Lagipula mengandalkan jaminan-jaminan untuk mitigasi risiko pinjaman tidak selalu berakhir mudah. Tetap ada sumber daya yang dihabiskan yaitu waktu dan biaya jika harus berurusan hukum dengan melakukan penyitaan jaminan-jaminan tersebut.
Ketiga, memberi pinjaman kepada pihak ketiga apalagi untuk pendanaan besar seperti proyek dan lain-lain, juga tidak sejalan dengan prinsip pelayanan kepada anggota. Lagipula pinjaman seharusnya terdistribusi dengan baik dan merata kepada seluruh anggota. Dengan demikian risiko kreditnya juga lebih terdistribusi.Â
Kalau pinjaman (apalagi dalam jumlah besar) hanya terdistribusi kepada segelintir orang saja, risiko kreditnya juga tertumpu pada segelintir orang tersebut. Kalau yang sedikit ini menunggak membayar pinjaman, maka likuiditas koperasi bisa terganggu. Ujung-ujungnya anggota lain yang akan dirugikan.
Wasana Kata
Menyeimbangkan rasio sumber dan penggunaan dana dengan menjaga agar uang masuk tidak kebablasan dapat membantu koperasi meminimalkan risiko pencucian uang. Idle money dijaga seminimal mungkin dengan cara mengatur pinjaman agar terdistribusi dengan baik kepada anggota-anggotanya.
Sejumlah koperasi sudah membuat beberapa program stimulus kepada anggota-anggotanya seperti pelatihan-pelatihan wirausaha agar anggota terdorong memanfaatkan pinjaman untuk memulai atau mengembangkan usaha produktif. Koperasi yang sudah melakukan digitalisasi produk dan layanan juga dapat mengembangkan produk pinjaman via aplikasi (sejenis pinjaman online) agar anggota dapat mengakses pinjaman dengan praktis.
Dengan konsisten menerapkan tata kelola seperti ini, sudah nyaris tidak ada celah lagi untuk terjadinya TPPU di koperasi. Lain cerita kalau koperasinya itu hanya jadi modus operandi shadow banking ya. Jadi koperasinya memang hanya koperasi-koperasian yang dibentuk untuk menyamarkan tindak pidana seperti pencucian uang, penipuan dan sebagainya. Salam (PG)
Baca juga:
Apakah Koperasi akan Berjodoh dengan OJK?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H