Kau boleh memberi mereka cinta tapi bukan pikiranmu
Sebab mereka punya pikiran sendiri
Kau bisa memberi tempat bagi raga tapi tidak bagi jiwa mereka
Sebab jiwa mereka hidup di rumah esok yang takkan mampu kau singgahi sekalipun dalam mimpi
Kemudian sebagai penegasan sekaligus mengangkat puisi ini menjadi lebih holistik, Khalil Gibran menganalogikan anak sebagai anak panah, orang tua sebagai busur dan Tuhan sebagai Sang Pemanah. Kita pernah mendengar ungkapan bahwa anak itu titipan Ilahi. Nah, ungkapan tersebut klop dengan analogi ini.
Sekarang mari kita coba menginterpretasi puisinya dikaitkan dengan fenomena yang sedang ramai diperbincangkan saat ini.
Kita skip untuk opsi childfree ya, karena memang tidak kompatibel dengan puisinya. Kita fokus pada mereka yang memilih untuk memiliki anak. Pasangan yang dikaruniai anak berarti mendapat anugerah khusus dari Tuhan dan oleh karenanya anugerah tersebut harus dijaga sepenuh hati.
Sayangnya, masih ada saja pandangan-pandangan tertentu tentang memiliki anak yang sudah terlanjur diamini masyarakat kita. Misalnya, punya anak biar nanti kalau orang tua sudah semakin tua ada anak yang merawatnya, punya anak biar nanti ada yang meneruskan bisnis keluarga, punya anak biar nanti anak-anak yang membiayai hidup orang tuanya dan seterusnya.
Jika mengacu pada puisi Khalil Gibran di atas, pandangan seperti ini adalah pandangan yang salah. Zaman dan kehidupan terus bergerak. Anak-anak kita di masa depan pasti punya perjuangannya sendiri. Â Masalah-masalah mereka di masa depan juga sudah pasti akan jauh berbeda dengan masalah-masalah kita hari ini.
Jadi anggapan anak harus balas budi sebenarnya mereduksi nilai dari relasi orang tua -- anak itu sendiri. Mengasuh anak jadi lebih mirip investasi, bukan karena sudah menjadi hakikat menjadi orang tua sebagaimana analogi busur dan panah di atas.
Kalaupun anak nantinya akan berbakti dengan merawat orang tuanya yang semakin menua, itu lebih karena faktor moralitas si anak, bukan karena alasan yang sifatnya transaksional. Apalagi anak-anak juga mungkin sudah mendapat pendidikan budi pekerti yang baik dari orang tuanya.
Jadi para orang tua yang saat ini sedang seru-serunya membesarkan si buah hati, sudah siapkah kita melepas mereka seperti busur yang melepas anak panah? Kita harus berjuang melengkungkan diri selengkung-lengkungnya agar anak panah tersebut bisa melesat jauh lurus ke depan saat dilepaskan. Mudah-mudahan pesan Khalil Gibran ini menginspirasi kita semua. (PG)