Senja itu, seorang lelaki menatap cakrawala dengan pandangan hampa. Dia melihat bayangan dirinya pada garis horizon di sana. Garis itu kini seperti jadi batas antara kehidupan dan kematian. Seiring matahari yang beringsut tenggelam, dia semakin jadi siluet bersama puluhan batu-batu nisan di sekelilingnya.
Beberapa waktu kemudian, pandangan hampanya mulai berpendar. Dengan sedikit senyuman dia menyentakkan sesuatu.
Duarrr!!
Gelap berganti terang yang menyilaukan sejenak, bersamaan dengan suara letusan yang memekakkan telinga. Tubuh lelaki itu tercerai-berai, menyatu dengan tanah kuburan.
Jiwanya yang rapuh menari-nari ke atas cakrawala, menuju ke batas senja dan malam. Burung-burung camar yang menjaga perbatasan pun segera mengantarnya ke pintu akhirat. Ada sejumlah pintu yang tertutup di sana. Terlihat setiap jenang pintu memiliki angka sendiri yang diukir rapi-rapi dengan tinta emas.
Di depan jejeran pintu-pintu itu, sudah menunggu malaikat penjaga di balik meja besar. Setelah berdiri berhadap-hadapan dengan sang malaikat, burung-burung camar meninggalkan mereka berdua.
Malaikat penjaga memandangnya ogah-ogahan .
"Aku tidak peduli dengan credo yang kamu imani sehingga menyangka meledakkan diri seperti itu bisa membantumu di sini. Jadi aku tidak akan berbasa-basi, Tuan Adam, silakan masuk ke pintu nomor 7C."
Lelaki yang ternyata bernama Adam ini memiliki sejuta tanda tanya di benaknya, tapi melihat malaikat penjaga kembali sibuk dengan buku registrasinya yang super tebal, dia mengurungkan niat untuk bertanya lebih jauh. Dia pun hendak beranjak menuju ke deretan pintu di sisi sebelah.
"... tapi aku penasaran, Tuan," sergah sang malaikat.