Komnas HAM baru saja merilis hasil investigasi terhadap kasus kematian Brigadir J dan mengungkapkan  dugaan kuat adanya kekerasan seksual almarhum Brigadir J terhadap Ibu PC. Pernyataan yang dirilis Kamis (1/9) di depan awak media ini berhasil membuat intensitas kegaduhan masyarakat meningkat kembali.
Pernyataan ini pun memantik resistansi dari masyarakat dan sejumlah tokoh, termasuk dari kuasa hukum keluarga Brigadir J yang sejak awal sudah menyampaikan fakta-fakta yang secara logika bisa menganulir kemungkinan terjadinya peristiwa tersebut.
Bapak Susno Duadji, mantan Kabareskrim Polri pada salah satu wawancara bahkan menilai Komnas HAM sudah keluar dari garisnya dengan rilis dari pernyataan tersebut, khususnya terkait dugaan kekerasan seksual. Komnas HAM sudah bertindak seolah-olah seperti penyidik.
Selain itu, Bapak Kapolri Listyo Sigit sendiri sudah menegaskan saat rapat bersama anggota DPR kalau tindak pidana pelecehan seksual sudah di-SP3 karena terbukti tidak terjadi. Memang berdasarkan keterangan terbaru dari FS, lokasi kejadian sebenarnya ada di Magelang. Tapi walaupun lokasi kejadian bergeser jauh, sebenarnya esensi peristiwanya sama saja.
Lalu pertanyaan yang muncul di benak kita adalah: apa sih orientasi Komnas HAM menghidupkan kembali isu kekerasan seksual tersebut?
Jika akan diangkat kembali menjadi sebuah kasus pidana, kasus ini otomatis gugur karena tidak ada lagi penuntutan mengingat Brigadir J sudah meninggal dunia. Semoga almarhum beristirahat dalam damai.Â
Kalaupun sifatnya memberi rekomendasi kepada pihak kepolisian, mestinya tidak perlu diumumkan secara terbuka (khususnya mengenai dugaan kekerasan seksual tersebut) karena toh sifatnya hanya untuk membantu konstruksi hukum saja.
Ajudan Versus Jenderal
Peristiwa pembunuhan Brigadir J ini sudah menjadi topik perbincangan berminggu-minggu lamanya, termasuk di lingkungan kantor kami. Pada awal kasus ini bergulir saya dan beberapa teman kantor malah sempat berdikusi dengan salah satu kawan yang suaminya seorang anggota kepolisian.
Kami penasaran dan ingin mendengar opininya menyikapi kasus tersebut. Kawan kami termasuk yang tidak percaya kalau Brigadir J berani berbuat asusila terhadap Ibu PC.Â
Dia menambahkan relasi komandan-anak buah di kepolisian itu sangat strict. Jangankan terhadap seorang jenderal, terhadap senior atau atasan tingkat saja mereka begitu patuh dan hormat. Apalagi ini terhadap jenderal bintang dua dan punya jabatan mentereng di institusi kepolisian.
Seorang ajudan, kalau masih normal cara berpikirnya, tidak akan berani macam-macam terhadap istri atasannya sendiri, pungkas kawan kami. Â
Sejalan dengan kesimpulan kawan kami ini, kuasa hukum almarhum Brigadir J pun menegaskan relasi Brigadir J dan Ibu PC itu lebih kepada relasi anak dan ibu. Kamaruddin Simanjuntak sampai berkali-kali menunjukkan foto J sedang menyetrika pakaian dan chat Ibu PC ke sang adik pada awak media. Pada akhirnya isu pelecehan seksual pun ditutup dengan pernyataan SP3 kasus oleh Kapolri. Â
Ini yang membuat kita kebingungan saat isu kekerasan seksual dimunculkan kembali oleh Komnas HAM. Tidak adanya bukti pendukung seperti kesaksian pihak lain (selain para tersangka saat ini), hasil visum, rekaman CCTV dan lain-lain membuat isu kekerasan seksual tidak lebih dari isu liar yang mengundang polemik. Bagaimana mungkin Komnas HAM menafikan begitu saja hal tersebut.
Menelisik Kembali Terjadinya Kekerasan Seksual
Beberapa hari lalu program Rosi Uncut di Kompas TV menghadirkan Prof. Sulistyowati Irianto, Guru Besar UI sekaligus Pengajar Gender dan Hukum. Saya mengikuti rekaman acaranya yang ditayangkan di kanal Youtube resmi Kompas TV. Ada kata-kata kunci pada pernyataan Ibu Profesor yang bisa acuan untuk menelisik kembali isu kekerasan seksual ini.
Menurut beliau, untuk memastikan terjadinya pelecehan atau kekerasan seksual harus ada dua unsur yang terpenuhi. Dua hal tersebut adalah: (1) Ketiadaan consent atau persetujuan dari korban dan (2) Kesenjangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Dalam hal ini pelaku memiliki kuasa lebih tinggi dari korban.
Mari kita cermati satu per satu. Yang pertama, tidak adanya consent. Ini bisa saja benar terjadi. Tapi sekali lagi, tudingan tersebut hanya datang dari satu pihak saja yaitu Ibu PC karena kita tidak bisa meminta klarifikasi apapun lagi dari Brigadir J.
Yang kedua mengenai relasi kuasa. Memang ibu PC tidak terkait langsung secara dinas dan kepangkatan dengan Brigadir J. Tapi sebagai ajudan, Brigadir J terkait dengan FS, suami ibu PC, sebagai atasannya.Â
Melihat relasi kuasa antara keduanya, pihak yang lebih rendah justru adalah Brigadir J. Menyambung kembali dengan analisis kawan kami, istri seorang polisi, rasanya mustahil Brigadir J berani macam-macam dengan Ibu PC. Apalagi jarak hirarki jenderal bintang dua dan seorang brigadir terpaut jauh sekali.
Pernyataan Prof. Sulistyowati Irianto yang dihubungkan dengan fakta-fakta ini sudah cukup meyakinkan kita kalau peristiwa kekerasan seksual Brigadir J kepada ibu PC nyaris mustahil terjadi, di mana pun lokasinya, mau di Jakarta atau di Magelang. Kalaupun terjadi seperti yang diduga Komnas HAM, mestinya dugaan tersebut lahir dari bukti-bukti kuat, bukan karena mendengar satu versi cerita saja. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H