"Hmm, wajahnya familiar."
"Ya, Tuan. Beberapa nama muncul, tapi aku punya firasat kuat dan informasi pendukung kalau jenderal ini yang menggagalkan pengiriman terakhir. Namanya Jenderal Bayu."
"Ah, ya aku ingat sekarang. Dia memang berbahaya, Kim. Alumni pendidikan intelijen Rusia. Dingin dan tidak mengenal ampun memberantas kejahatan. Kabarnya, dia menguasai beberapa bahasa dan punya pengaruh besar di antara para jenderal. Jangan main-main dengannya, Kim. Bagaimana dia bisa terlibat? Dia masih di markas besar kepolisian, bukan?"
"Ya, Tuan. Menurut informanku dia ditugaskan Kapolri secara khusus mengejar salah satu sindikat trafficking lintas negara. Bisa jadi terhubung ke jaringan kita dari situ. Ini yang sedang aku selidiki."
Bernadino berdiri dan beranjak ke jendela bundar untuk memandang laut dan pulau di luar yacht. Dia menerawang jauh.
"Dia tidak akan berhenti, Kim. Aku pernah sekali berurusan dengan jenderal ini."
"Sejauh ini aman, Tuan. Jejak sudah dibersihkan. Hanya kalau memang dia sehebat itu, mungkin tinggal masalah waktu jaringan kita dibongkar. Kecuali kita mengantisipasinya lebih dahulu. Hanya ... harus aku akui, jenderal ini benar-benar bersih."
"Untuk menghabisinya secara frontal sama saja bunuh diri, Kim. Orang seperti ini cukup tangguh dan punya pengamanan berlapis-lapis. Kita butuh cara yang senyap," sambung Bernadino lalu kembali berjalan ke arah sofa. "Bagaimana dengan wanita? Istrinya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu bukan?"
"Ya, Tuan. Tapi sepertinya dia memang bukan tipe laki-laki yang akan jatuh karena wanita. Tidak pernah ada rumor sekecil apapun, tidak pernah terlihat bersama wanita lain."
Bernadino duduk kembali dan memandang lekat-lekat foto Jenderal Bayu di layar tablet. Dia menggangguk-angguk kecil.
****