Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pesona Puisi dengan Views 4 Digit

17 Juni 2022   20:11 Diperbarui: 17 Juni 2022   20:12 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar dari pixabay.com

Meminjam istilah Kompasianer Ari Budiyanti, menjadi penulis puisi itu seperti maju di jalan yang sepi dan sunyi. Memang jika dibandingkan dengan jumlah pembaca pada kanal yang lain, hiburan, olahraga atau politik, misalnya, pembaca puisi di Kompasiana bisa dibilang sangat minim jumlahnya.

Tapi bagaimanapun juga setiap puisi pasti akan mengalir menemukan pembacanya. Jika beruntung, puisi pun bisa sukses meraup banyak views.

Sesekali saya suka iseng membuka-buka koleksi tulisan lawas di Kompasiana. Fitur-fitur di profil akun Kompasianer cukup membantu untuk tujuan ini. Beberapa hari lalu, saya sedikit terkejut karena menemukan salah satu puisi yang berjudul Persetan Dengan Cinta, berhasil meraup keterbacaan sampai lebih dari 3.200 kali.

Puisi ini ditayangkan bulan Januari tahun lalu. Sudah cukup lama sebenarnya. Tapi selama ini jumlah views puisi tidak akan banyak bergerak lagi setelah 1 atau 2 bulan pasca penayangan. Saya cek di file excel (saya membuat basis data berisi artikel dan jumlah views dengan rentang waktu 2 bulan setelah artikel ditayangkan) ternyata keterbacaan puisi tersebut hanya 145 kali saja.  Pun bukan puisi yang disundul admin jadi Artikel Utama atau masuk Tulisan Populer.  

Bagaimana bisa naik jadi lebih dari 3.200 kali? Itu yang tidak saya pahami.

Saya pun tertarik mengulik lebih jauh bagaimana nasib puisi-puisi lain yang ditulis pada tahun-tahun sebelumnya. 2020, 2019, 2018 dan seterusnya. Ternyata ada juga puisi-puisi lain yang bisa menembus pembaca 4 digit. Melihat nasib puisi-puisi yang ditulis selama ini, puisi dengan keterbacaan di atas 500 kali saja, itu sudah bisa dibilang luar biasa.

Untuk tahun 2020 ada tiga puisi yang views-nya bisa tembus 4 digit, yaitu puisi berjudul Kepala Batu, Apel itu Merah dan Perang.

Puisi-puisi yang ditulis tahun 2019, tidak ada yang views-nya mencapai 4 digit.

Kemudian untuk tahun 2018 ada 6 puisi, yaitu Siapa yang Perlu Cinta, Likuifaksi, Malam yang Sedih, Iblis dan Malaikat, Kita Harus Sering Bercanda dan Mereguk Pagi.

Puisi-puisi yang ditulis tahun 2017 lebih banyak lagi. Tapi saya memberi perhatian khusus pada puisi Purnabakti yang meraup lebih dari 6.500 views, Warna Tuhan, 4.200 views dan puisi Monokrom yang meraup lebih dari 3.600 views. Keterbacaan ini malah lebih banyak dari rata-rata artikel non-fiksi yang pernah saya tulis.

Saya pun mencoba menarik benang merah untuk menemukan pesona apa kira-kira yang membuat jumlah keterbacaan puisi-puisi tersebut bisa melejit. Hasilnya? Tidak ketemu!

Tidak ada benang merah tertentu yang berhasil menghubungkan puisi-puisi tersebut. Tema yang diangkat beraneka ragam: percintaan, lingkungan, sosial budaya, politik dan lain-lain. Ada satu dua puisi yang mungkin sedang aktual jadi berhasil menarik banyak pembaca dari mesin pencari, tapi puisi-puisi yang lain tidak demikian.

Mengenai kualitas puisi-puisi tersebut, jika mengacu pada standar Artikel Utama dari admin, maka bisa dikatakan peran kualitas puisi terhadap jumlah pembaca tidak begitu signifikan. Sebagian besar puisi-puisi dengan views 4 digit tersebut malah bukan Artikel Utama.

Akhirnya setelah merenung-renung kembali, saya sampai pada kesimpulan demikian.

Pembaca puisi-puisi tersebut pasti datang dari luar lingkungan Kompasiana karena hasil blogwalking ke tulisan sesama Kompasianer pengaruhnya ke tingkat keterbacaan paling lama hanya 1 bulan saja untuk satu artikel. Jadi kenaikan pembaca pada waktu-waktu setelahnya, lebih karena faktor mesin pencari atau ada kenaikan traffic pembaca secara masif.

Pembaca dari Mesin Pencari 

Puisi dan pembacanya mungkin sekali dipertemukan setelah mengetik kata-kata kunci yang sesuai di mesin pencari. Bisa saja seiring waktu, terjadi peristiwa tertentu yang terkait dengan puisi yang ditulis. Jadi saat banyak orang mengetik kata-kata kunci yang sedang aktual dan klop dengan tag pada puisinya, mesin pencari pun mengarahkan pembaca ke laman unggahan puisinya.

Misalnya pada puisi Perang yang saya tulis Januari tahun 2020 yang lalu. Bisa saja baru beberapa bulan terakhir ini grafik pembacanya naik, karena imbas arahan mesin pencari terkait peristiwa yang sedang aktual, konflik antara Rusia dan Ukraina.

Endorse dari Pembaca yang Lain

Pernah ada orang tidak dikenal yang mengirimkan pesan lewat inbox Instagram untuk izin menggunakan puisi saya berjudul Tanah pada acara pembacaan puisi di kampus, atau kegiatan sejenis itu (lupa persisnya). Menurutnya puisi tersebut bagus dan sesuai dengan tema kegiatan mereka. Dia akan memberikan credit ke puisi saya. Saya pun membalas pesan dengan mengiyakan permintaannya (sambil memberi penekanan pada credit tadi)

Views puisi tersebut saat ini lebih dari 1.400. Padahal di file excel terakhir saya lihat keterbacaannya 564 kali saja. Bisa jadi ada endorsement yang mengarahkan pembaca ke tautan puisi tersebut. Pengalaman seperti ini juga terjadi pada puisi bertajuk Purnabakti.

Jadi bisa juga terjadi jumlah views yang melejit disebabkan oleh rekomendasi dari orang lain terhadap puisi-puisi tersebut, dengan atau tanpa sepengetahuan saya.

Kesimpulannya, tidak ada faktor khusus yang menyebabkan puisi-puisi tersebut keterbacaannya meningkat. Tentu faktor kualitas puisi juga sedikit banyak memiliki pengaruh. Tapi ini pun sangat tergantung pada selera setiap pembaca. Sama saja dengan saat kita menikmati sebuah lagu. Ada yang langsung jatuh cinta dengan lagunya, ada juga yang menganggap lagunya biasa-biasa saja.

Jadi kita kembali ke prinsip awal, setiap puisi pasti akan mengalir menemukan pembacanya. Yang penting kita tetap berpuisi, menuangkan isi kepala dan isi hati ke dalam baris-baris kata lalu dipoles dengan diksi, rima dan metafora. Views hanyalah angka, berkarya itu yang utama. (PG)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun