Rupanya lonjakan gila-gilaan kasus Covid-19 tidak lantas membuat para penyangkal keberadaan Covid-19 mingkem. Masih ada yang terang-terangan menunjukkan ketidakpercayaannya pada virus yang telah menjadi musuh global selama lebih dari setahun terakhir ini.
Memang intensitas kehadiran mereka di lini masa sudah tidak setinggi beberapa waktu lalu atau pada saat awal Covid-19 merebak di tanah air.
Tapi sesekali cuitan atau komentar mereka tetap bisa ditemukan. Kemarin sore, salah satu cuitan akun penyangkal Covid-19 dikutip akun yang saya ikuti di lini masa twitter. Kata-kata dalam cuitan tersebut setelah saya buat lebih rapi kurang lebih seperti ini bunyinya:
Pernah gak kepikiran kalau orang yang katanya mati karena Covid, mereka sebenarnya dibunuh, pakai racun dalam infus, dijauhkan dari orang terdekatnya, biar tambah drop sekalian, soalnya pas ada yang sedang dirawat, kalian gak bisa nengok dengan alasan blablabla. Kalian gak tau kan?
Saya terhenyak sejenak setelah membaca twit tersebut. Tapi biar tidak menghakimi berdasarkan cuitan tunggal, saya membuka profil akun yang bersangkutan untuk melihat riwayat kicauan di berandanya dan ... bisa disimpulkan pemilik akun tersebut memang tidak percaya Covid-19 itu eksis.
Pernyataan-pernyataan para penyangkal keberadaan Covid seperti ini sebenarnya bisa dipatahkan dengan logika dan fakta. Misalnya dengan menjawab kicauan tersebut seperti ini,
Ga pernah kepikiran kayak gitu. Karena yg punya pikiran seperti itu harus bisa memastikan paling tidak dua hal:
1. Semua penderita Covid meninggal setelah diinfus 2. Semua nakes yang merawat pasien Covid adalah orang2 jahat yg membunuh suara hati nuraninya. Salam sehat
Ini hanya salah satu saja. Masih banyak kicauan atau komentar serupa di tempat lain yang bisa juga bikin geleng-geleng kepala. Beberapa hari lalu, misalnya. Di beranda facebook, salah satu kawan mengingatkan agar selalu menjaga imunitas tubuh dan tidak abai terhadap prokes lewat statusnya. Eh, di kolom komentar ada yang bilang Covid-19 itu tidak ada. Lalu dijawab lagi sama si empunya status, loh itu angka kematian Covid-19 naik karena apa kalau gitu? Dan dijawab lagi sama komentator, itu karena ada penyakit bawaan.
Untung si empunya status tetap anteng dan menjawab ya sudah kalau tidak percaya, tidak apa-apa, semoga sehat-sehat saja di sana. Lalu hanya ada balasan GIF terima kasih, dan percakapan tidak berlanjut lagi.
Kalau dipikir-pikir sebenarnya si komentator sudah menyangkal idealismenya sendiri (tanpa sadar) dengan mengatakan korban meninggal bukan karena Covid-19 tapi karena penyakit bawaan. Nah, ini kan artinya dia mengakui Covid-19 membuat penyakit bawaan tersebut lebih parah. Jadi dengan sendirinya sebenarnya mengakui Covid-19 itu eksis.
Dengan menggunakan logika dan fakta kita bisa meng-counter beberapa sesat pikir yang lain. Seperti misalnya dulu juga ada ungkapan sarkas yang beredar, kalau ingin pandemi berakhir jangan lagi ada media yang memberitakan Covid-19, hentikan bansos-bansos, pasti Covid-19 juga hilang.
Maksud ungkapan ini adalah Covid-19 terlalu dibesar-besarkan. Tapi apa iya logikanya seperti itu?
Kalau pun hilang dari pemberitaan, bukankah transmisi virus tetap terjadi? Bahkan karena tidak diberitakan, bisa saja sampai di pintu rumah kita tanpa sempat diantisipasi.
Ambil contoh wabah kolera yang menyebar pada tahun 1820. Saat itu sarana transportasi dan mobilitas manusia belum semasif sekarang ini. Pun belum ada stasiun TV, atau portal berita daring seperti saat ini. Tapi penyakit yang berasal dari India ini toh tetap sampai ke Indonesia dan memakan banyak korban.
Ada juga yang menganggap isu Covid-19 adalah sebuah grand design dengan tujuan-tujuan tertentu. Eksesnya macam-macam, misalnya melumpuhkan ekonomi global, memasukkan chip dalam tubuh lewat vaksin, rezim leluasa mengontrol kebebasan masyarakat dan lain-lain.
Lama-lama pikiran kita jadi ikut terganggu gara-gara memikirkan teori-teori ini. Padahal kita harus menjaga pikiran tetap positif untuk membantu menjaga imunitas tubuh.
Nah, untuk sesat pikir seperti ini kita juga bisa menggunakan logika sederhana untuk mematahkannya. Coba tebak siapa yang paling diuntungkan dengan bencana kesehatan ini? Ingat, Covid-19 bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi sebuah bencana global karena jangkauannya lintas negara. Banyak negara mengalami kerugian yang besar karena pandemi ini.
Kemudian jika memang Covid-19 ini hanya sebuah konspirasi, terlalu banyak aktor yang harus dilibatkan di dalamnya, lintas geografis, lintas profesi, lintas jabatan, lintas kepentingan dan lintas-lintas yang lain. Ada oknum yang harus menguasai birokrasi, menguasai parlemen, menguasai sistem kesehatan, menguasai media dan seterusnya.
Untuk satu dua isu remeh saja, kita biasa sudah pro kontra habis-habisan. Apalagi untuk isu besar seperti pandemi ini. Lagi pula untuk sebuah konspirasi terlalu besar taruhannya: sistem kesehatan kolaps, ekonomi melambat, sumber daya negara terkuras, salah-salah stabilitas politik dan hankam bisa ikut terimbas.
Memang selalu ada oknum-oknum yang menunggangi isu tertentu. Kancing jas presiden saja bisa jadi polemik berhari-hari lamanya.
Masih ingat kan fenomena meroketnya harga masker tahun lalu? Ini terjadi karena selalu saja oknum yang mengambil keuntungan secara sepihak. Tapi ini tidak lantas membuktikan isu Covid-19 adalah isu yang hadir by design.
Pernyataan-pernyataan blunder seperti ini kerap bikin keruh suasana dan melukai perasaan keluarga para korban Covid-19 serta para nakes yang sudah pasang badan di barisan paling depan melawan pandemi.
Jadi jika kita tidak bisa memberi kontribusi apapun untuk membantu menanggulangi pandemi Covid-19 ini, lebih baik kita tenang dan diam. Hal itu mungkin akan lebih membantu. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H