Kalau dipikir-pikir sebenarnya si komentator sudah menyangkal idealismenya sendiri (tanpa sadar) dengan mengatakan korban meninggal bukan karena Covid-19 tapi karena penyakit bawaan. Nah, ini kan artinya dia mengakui Covid-19 membuat penyakit bawaan tersebut lebih parah. Jadi dengan sendirinya sebenarnya mengakui Covid-19 itu eksis.
Dengan menggunakan logika dan fakta kita bisa meng-counter beberapa sesat pikir yang lain. Seperti misalnya dulu juga ada ungkapan sarkas yang beredar, kalau ingin pandemi berakhir jangan lagi ada media yang memberitakan Covid-19, hentikan bansos-bansos, pasti Covid-19 juga hilang.
Maksud ungkapan ini adalah Covid-19 terlalu dibesar-besarkan. Tapi apa iya logikanya seperti itu?
Kalau pun hilang dari pemberitaan, bukankah transmisi virus tetap terjadi? Bahkan karena tidak diberitakan, bisa saja sampai di pintu rumah kita tanpa sempat diantisipasi.
Ambil contoh wabah kolera yang menyebar pada tahun 1820. Saat itu sarana transportasi dan mobilitas manusia belum semasif sekarang ini. Pun belum ada stasiun TV, atau portal berita daring seperti saat ini. Tapi penyakit yang berasal dari India ini toh tetap sampai ke Indonesia dan memakan banyak korban.
Ada juga yang menganggap isu Covid-19 adalah sebuah grand design dengan tujuan-tujuan tertentu. Eksesnya macam-macam, misalnya melumpuhkan ekonomi global, memasukkan chip dalam tubuh lewat vaksin, rezim leluasa mengontrol kebebasan masyarakat dan lain-lain.
Lama-lama pikiran kita jadi ikut terganggu gara-gara memikirkan teori-teori ini. Padahal kita harus menjaga pikiran tetap positif untuk membantu menjaga imunitas tubuh.
Nah, untuk sesat pikir seperti ini kita juga bisa menggunakan logika sederhana untuk mematahkannya. Coba tebak siapa yang paling diuntungkan dengan bencana kesehatan ini? Ingat, Covid-19 bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi sebuah bencana global karena jangkauannya lintas negara. Banyak negara mengalami kerugian yang besar karena pandemi ini.
Kemudian jika memang Covid-19 ini hanya sebuah konspirasi, terlalu banyak aktor yang harus dilibatkan di dalamnya, lintas geografis, lintas profesi, lintas jabatan, lintas kepentingan dan lintas-lintas yang lain. Ada oknum yang harus menguasai birokrasi, menguasai parlemen, menguasai sistem kesehatan, menguasai media dan seterusnya.
Untuk satu dua isu remeh saja, kita biasa sudah pro kontra habis-habisan. Apalagi untuk isu besar seperti pandemi ini. Lagi pula untuk sebuah konspirasi terlalu besar taruhannya: sistem kesehatan kolaps, ekonomi melambat, sumber daya negara terkuras, salah-salah stabilitas politik dan hankam bisa ikut terimbas.