Di atas dahan jambu air, seorang bocah bertubuh subur sedang duduk mengasah anak panahnya. Di belakang punggungnya sepasang sayap berwarna putih bersih sedang ditangkupkan. Orang-orang mengenalnya sebagai Cupid, sang Dewa Asmara.
Siang ini Cupid menanti sepasang sejoli yang biasanya melintas di persimpangan jalan kecil yang membelah kompleks perumahan, tepat di bawah pohoh jambu air itu.
Sang pemuda bernama Bejo, pedagang sayur keliling, sedangkan sang gadis bernama Tiwi, pedagang kerupuk, rempeyek dan aneka cemilan lainnya. Setiap hari mereka menjajakan dagangan door to door pada warga di sekitar situ. Entah kebetulan atau memang sudah suratan takdir, mereka kerap bertemu di persimpangan itu.
Setiap bertemu, masing-masing turun dari sepeda motornya. Lalu Tiwi membeli sayur mayur dagangan Bejo agar sesampai di rumah tinggal dibersihkan dan dimasak, tidak perlu bingung mencari sayur lagi. Sedangkan Bejo membeli dagangan Tiwi untuk dijadikan cemilan saat mengaso atau sambil menjajakan dagangannya.
Bisa saja mereka memang berjodoh, tapi bisa juga tidak. Siang ini, sang Cupid memastikan jawabannya lewat anak panah cinta yang sebentar lagi ditembakannya.
Setelah beberapa saat menunggu, terdengarlah samar-samar suara Bejo dan Tiwi dari arah berlawanan, masing-masing meneriakkan dagangannya. Cupid pun bersiap-siap dengan memasang anak panah di senar busurnya.
Tidak lama kemudian, Bejo dan Tiwi muncul. Saat kendaraan mereka nyaris bertemu, masing-masing menghentikan deru mesin kendaraannya dan saling menyapa.
"Loh, ini kerupuknya sudah hampir habis?"
Tiwi tersenyum memamerkan lesung pipinya.
"Itu, tadi di Blok D ada yang borong. Katanya buat catering gitu," sahut Tiwi.
"Syukurlah kalau gitu. Eh, beli peyek kacang lima ribu, ya."