Setiap manusia menginginkan kebahagiaan dari sebuah relasi, relasi apapun itu. Sahabat, keluarga, kolega, apalagi dari sebuah hubungan asmara. Yang terakhir ini menarik, karena melibatkan dua insan yang berbeda jenis kelamin. Otomatis juga berbeda dalam banyak hal: cara berpikir, cara mengambil sikap, cara merespon, karakter dan sejumlah hal lainnya.
Beruntunglah aku memiliki Jumini. Gadis manis berambut ikal sebahu yang tidak bisa menyembunyikan gigi kelincinya saat tersenyum.
Jumini, kekasih hatiku ini selalu bisa diandalkan untuk urusan menemukan kebahagiaan bersama. Kendati kami juga punya sejumlah perbedaan. Dia suka drakor, aku suka film action. Dia suka keju, aku suka cokelat. Dia suka traveling, aku suka gaming. Dia arsitek, aku supervisor penjualan. Dia tekun, aku sedikit ceroboh. Dia seorang melankolis, aku seorang koleris. Kami seperti dua kutub berbeda yang dipertemukan cinta.
Yang membuat aku bahagia dalam relasi kami adalah dia selalu punya waktu untuk mendengarkan segala keluh kesahku. Dia seorang pendengar yang baik, oleh karena itu dia selalu mampu memberikan alternatif solusi jika aku datang membawa tumpukan beban masalah hidup: masalah kantor, masalah dengan teman, masalah keuangan dan sejumlah masalah lain.
Kadang, tanpa perlu berkata-kata, dia cukup memberikan pelukan hangat, aku sudah merasa setingkat lebih baik dari sebelumnya.
Suatu waktu beberapa masalah besar datang di waktu yang nyaris bersamaan. Salah satu salesman melakukan penjualan fiktif  dan karena keteledoranku dalam hal administrasi, perusahaan berpotensi  mengalami kerugian. Cukup besar nominalnya. Aku harus berurusan sampai ke head office. Sementara itu, kakak kandungku harus segera menghadapi operasi pengangkatan tumor di kepala dengan harapan hidup 50:50. Aku diminta bapak dan emak untuk ikut membantu baik dalam bentuk dukungan moral maupun finansial.
Kedua peristiwa itu memiliki konsekuensi keuangan dan celakanya, aku baru dua bulan lalu aku merogoh hampir seluruh tabungan untuk usaha patungan dengan beberapa kawan seangkatan kuliah dulu. Usaha yang bergerak di bidang advertising ini baru saja merangkak naik, dan hampir 80% modal digunakan untuk pembelian aktiva tetap dan sewa lokasi. Jadi tidak mungkin aku menarik kembali modal yang sudah terlanjur berputar.
Saat itu aku datang ke dekapan Jumini seperti anak kecil yang menangis tersedu-sedu datang kepada ibunya. Ya, aku jadi seperti anak kecil yang nyaris putus asa. Bahkan lebih kecil lagi, seperti bayi yang berusia beberapa bulan dan tak kuasa berbuat apa-apa. Jadi tempat tempat paling aman saat itu adalah sembunyi di balik kutang sang ibu yang hangat dan menenangkan.
Lihatlah anak bayi saat menyusui, begitu tenang dan damai. Padahal mungkin saja dia sedang takut akan sesuatu atau sedang kesakitan. Tapi saat berada dalam posisi itu dia bisa sejenak melupakan segala masalahnya.
Jadi sembunyi di balik kutang kekasih ini hanya ungkapan kalau Jumini itu selalu bisa hadir dan menjadi superhero buatku. Apalagi setelah dia berbisik "Aku punya punya deposito yang cair minggu depan. Gak banyak, hanya dua puluh juta lebih sedikit. Pakai itu aja dulu. Nanti gantinya kapan-kapan kalau kamu sudah dapat rejeki lagi."
Ah, lega sekali rasanya. Aku pun memeluknya erat-erat.
Saat itu kami sedang duduk bersisian. Jadi jika biasanya dia yang menyandarkan kepalanya di dada bidangku, kali ini dia yang membiarkan kepalaku bersandar di depan dadanya yang lembut. Aku seperti berada di nirwana. Pasti di dalam sana, di balik kutang Jumini ... benar-benar hangat dan menenangkan.
"Jumini? Jumini siapa?!"
Suara nge-bas tapi rada cempreng itu membuyarkan semuanya. Aku terkejut dan saat membuka mata nampak Aldo, sepupuku sudah siap dengan setelan kerjanya. Wangi parfumnya juga menguar memenuhi kamar.
"Kamu gak ngantor?" tanyanya.
"Hah?! Sudah jam berapa ini?" aku melirik jam dinding, kurang sepuluh menit jam 7. Wah, bakalan terlambat nih. "Ngantor! Kok gak dibangunkan dari tadi sih, Do?!"
"Yee, ini orang gak ada syukur-syukurnya. Udah ah, aku berangkat duluan. Eh, Jumini siapa? Pacar kamu?"
"Bukan. Aku juga gak tahu siapa," sahutku asal sambil menarik handuk dan buru-buru keluar kamar ke kamar mandi.
Aku dan Aldo sama-sama anak perantau di metropolitan ini. Karena sudah punya penghasilan masing-masing, kami pun sepakat mengontrak satu rumah kecil yang punya dua kamar. Jadi biaya kontrakannya dibagi berdua biar lebih murah.
Sambil mandi ekspres, aku masih memikirkan sisa-sisa mimpi tadi, tentang Jumini dan segala tetek bengeknya. Mimpi yang terasa begitu nyata itu bukan cuma sekali, tapi sudah dua atau tiga kali mampir di tidur malamku.
Ah, aku kasihan sama Jumini, atau siapapun nama jodohku di luar sana. Kasihan, karena sampai hari ini dia belum menemukanku. Â Â
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H