Saat itu kami sedang duduk bersisian. Jadi jika biasanya dia yang menyandarkan kepalanya di dada bidangku, kali ini dia yang membiarkan kepalaku bersandar di depan dadanya yang lembut. Aku seperti berada di nirwana. Pasti di dalam sana, di balik kutang Jumini ... benar-benar hangat dan menenangkan.
"Jumini? Jumini siapa?!"
Suara nge-bas tapi rada cempreng itu membuyarkan semuanya. Aku terkejut dan saat membuka mata nampak Aldo, sepupuku sudah siap dengan setelan kerjanya. Wangi parfumnya juga menguar memenuhi kamar.
"Kamu gak ngantor?" tanyanya.
"Hah?! Sudah jam berapa ini?" aku melirik jam dinding, kurang sepuluh menit jam 7. Wah, bakalan terlambat nih. "Ngantor! Kok gak dibangunkan dari tadi sih, Do?!"
"Yee, ini orang gak ada syukur-syukurnya. Udah ah, aku berangkat duluan. Eh, Jumini siapa? Pacar kamu?"
"Bukan. Aku juga gak tahu siapa," sahutku asal sambil menarik handuk dan buru-buru keluar kamar ke kamar mandi.
Aku dan Aldo sama-sama anak perantau di metropolitan ini. Karena sudah punya penghasilan masing-masing, kami pun sepakat mengontrak satu rumah kecil yang punya dua kamar. Jadi biaya kontrakannya dibagi berdua biar lebih murah.
Sambil mandi ekspres, aku masih memikirkan sisa-sisa mimpi tadi, tentang Jumini dan segala tetek bengeknya. Mimpi yang terasa begitu nyata itu bukan cuma sekali, tapi sudah dua atau tiga kali mampir di tidur malamku.
Ah, aku kasihan sama Jumini, atau siapapun nama jodohku di luar sana. Kasihan, karena sampai hari ini dia belum menemukanku. Â Â
---