Sepertinya memang sudah bisa ditebak sejak awal kalau keputusan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan untuk kembali menerapkan PSBB bakal menuai polemik. Juga mungkin sudah banyak yang menduga kalau respon ketidaksetujuan paling pertama muncul dari lingkaran istana.
Pasalnya pemerintah pusat saat ini sedang mumet memikirkan bagaimana agar negara kita tidak terjerembab pada resesi yang dalam dan bisa berbuntut panjang.Â
Duit digelontorkan habis-habisan untuk memberi stimulus, karena saat ini perekonomian seperti seseorang yang pingsan (nyaris mati) dan diberi napas buatan agar hidup kembali.
Jadi saat stimulus perekonomian tersebut sedang dipantau umpan baliknya, tentu saja kabar kalau Anies Baswedan akan menarik tuas "rem darurat" menjadi kabar yang benar-benar mengejutkan.Â
Kita tahu bersama Jakarta adalah pusat perputaran uang yang sangat besar pengaruhnya pada perekonomian nasional. Penerapan PSBB sudah pasti akan membuyarkan skenario pemulihan ekonomi yang sudah dibuat sebelumnya.
Tapi apakah wacana penerapan kembali PSBB oleh Anies Baswedan ini salah?Â
Saat ini tidak ada lagi yang benar atau salah secara absolut. Jawaban ini sama untuk pertanyaan: sekarang mana yang jadi prioritas, kesehatan atau ekonomi?
Kasus positif di negara kita sudah berada pada angka 200.000 dengan kematian lebih dari 8.500 orang. Angka-angka ini masih akan terus bertambah.Â
Tingkat okupansi tempat tidur perawatan pasien Covid-19 (khususnya Jawa dan Bali) nyaris 100%. Sudah puluhan negara yang memberlakukan travel warning bahkan menyetop perjalanan ke negara kita.
Ini situasi-situasi yang membuat kita harus berpikir lebih keras, lebih strategis bahkan jika perlu out of the box. Jadi tidak terlalu relevan lagi mempertentangkan kesehatan dan ekonom.Â
Bagaimana mau memprioritaskan kesehatan kalau kita tidak punya sumber daya ekonomi yang memadai lagi? Atau sebaliknya, bagaimana mau menggenjot ekonomi kalau kesehatan masyarakat sudah berada di titik nadir?
Rem Darurat Jangan Sampai Blong
Konsep "rem darurat" ini penting karena memang peningkatan kasus Covid-19 di negara kita sudah sangat mengkhawatirkan. Di sisi lain, masyarakat terlihat makin apatis terhadap pandemi ini. New normal yang digadang-gadang menjadi gaya hidup kita di masa pandemi sudah makin mirip old normal, alias nyaris tidak ada bedanya lagi dengan gaya hidup sebelum pandemi terjadi.
Tapi rem darurat sudah pasti memiliki dampak besar terhadap perekonomian (juga mengimbas sektor kehidupan yang lain: sosial, budaya, keamanan dan lain-lain).Â
Jadi sebelum diberlakukan, pemerintah daerah maupun pusat harus memiliki rancangan mitigasi yang terpadu terhadap risiko-risiko yang mungkin terjadi.
Segala aspek harus ditelisik baik-baik: kesiapan sarana prasarana, koordinasi antar perangkat pemerintahan untuk memastikan PSBB berjalan maksimal, ketersediaan dana dan logistik untuk bail out, peraturan pendukung sampai strategi sosialisasi program dan edukasi kepada masyarakat, bahkan sampai cara memberi punishment bagi para pelanggar PSBB.
Hanya saja melihat respon pemerintah daerah penyangga Ibukota (daerah Bodetabek) usai rapat dengan Gubernur DKI, Kamis (10/9) kemarin, sepertinya masih banyak persiapan yang harus dibereskan oleh Pemda DKI.Â
Ini yang kita khawatirkan bersama. Jangan sampai PSBB hanya jadi semacam peluru hampa. Sudah menguras banyak resources, hasilnya tidak maksimal.
Jadi kesimpulannya, jika memang harus, mengerem darurat perlu dilakukan sebelum menabrak halangan, agar pengemudi bersama orang-orang yang dibawanya selamat. Tapi kalau remnya blong karena keteledoran (tidak sempat mengecek kesiapan kendaraan sebelum berkendara), ya ujung-ujungnya tetap nabrak juga. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H