Sampai sore tadi, "Gilang" masih merajai tangga trending topic media sosial twitter Tanah Air.
Gilang adalah nama seorang mahasiswa pada salah satu perguruan tinggi di Surabaya. Namanya jadi viral gara-gara utas yang diunggah pertama kali oleh salah satu akun Twitter, juga seorang mahasiswa di Surabaya tapi masih menyandang status maba (mahasiswa baru).
Secara garis besar utas kicauan bertajuk "Fetish Kain Jarik" berkisah tentang pengalaman si empunya akun (selanjutnya saya sebut X saja untuk menjaga kesopanan) meladeni permintaan demi permintaan Gilang soal bungkus-membungkus yang belakangan baru ketahuan ternyata adalah salah satu bentuk sexual harassment dari Gilang terhadap dirinya.
Mereka awalnya tidak saling kenal. Interaksi mereka bermula setelah mutualan di Instagram (dari utas tersebut diceritakan Gilang yang duluan follow dan meminta X untuk follow back).
Setelah berkomunikasi beberapa lama, Gilang pun meminta tolong X membantu risetnya dengan melakukan beberapa hal yang aneh (membungkus diri dengan kain dan seterusnya). Jadi motivasi awal X melakoni permintaan demi permintaan Gilang sebenarnya murni ingin membantu.
Secara garis besar seperti itu. Untuk melihat lebih detail utas yang dimaksud, silakan main ke twitter dengan mencari kata kunci "Gilang" atau "Fetish Kain Jarik". Mestinya tidak sulit dicari saat ini. Â
Selain memang terbilang unik, saya menduga yang membuat kasus ini jadi viral adalah ternyata ada banyak korban lain yang juga punya pengalaman sama dan baru tergerak "bersuara" saat X berkicau di twitter.
Ditambah lagi seleb Karin Novilda (atau lebih dikenal dengan nama Awkarin) menyatakan bersedia membantu X jika harus membawa kasus ini ke ranah hukum.
Saya cukup awam dengan hal-hal seperti ini. Selama ini saya pikir kejahatan seksual lewat dunia maya itu terbatas pada pelecehan visual maupun verbal, mengirimkan gambar-gambar tidak senonoh, menyebarkan informasi pribadi seseorang dengan aneka modus (sextortion dan lain-lain) dan kejahatan lain yang sudah cukup banyak kita kenal.
Selama ini saya juga berpikir orientasi seksual pada objek (di luar manusia) atau lebih terkenal dengan sebutan fetish adalah hal yang sifatnya privilege. Ternyata kedua hal ini bisa terjadi bersamaan. Fetish pada akhirnya bisa jadi sebuah sexual harassment jika ada unsur pemaksaan sekaligus penipuan terhadap korbannya. Â
Seandainya X tidak meladeni permintaan Gilang, mungkin saja kasus ini tidak akan terjadi dan nama Gilang tidak akan viral sampai jadi trending topic. Tapi modus Gilang ini bisa dibilang ampuh, karena dia dan X adalah sama-sama mahasiswa.
Apalagi ada dalih dia ingin secepatnya menyelesaikan penelitiannya. Jadi X merasa ada "kesamaan" antara mereka berdua dan sikapnya meladeni kemauan Gilang didasari oleh empati ingin membantu.
Memang pada dasarnya keinginan membantu adalah hakikat kita sebagai makhluk sosial. Dari dalam lubuk hati terdalam selalu ada "dorongan" untuk menolong orang lain yang membutuhkan. Hanya pengalaman setiap orang yang berbeda-beda membuat implementasi dorongan ingin menolong ini juga berbeda-beda pada setiap orang.
Jadi jika pada sebagian dari kita perlu berpikir dua kali untuk menolong orang yang belum dikenal dengan baik mungkin karena pengalaman masa lalu, atau karena lingkungan sudah membentuk tabiatnya seperti itu. Sayangnya, kasus Gilang ini menambah lagi satu preseden yang menguatkan tabiat tersebut.
Walaupun kisah ini adalah contoh perilaku yang buruk, kita tetap bisa menarik pelajaran berharga agar lebih mawas diri terutama dalam relasi kita dengan kawan-kawan di media sosial.
Modus Gilang pada X adalah meminta X membantunya menyelesaikan penelitiannya. Ini bisa jadi modus yang ampuh terutama di kalangan mahasiswa atau pelajar.
Kunci paling pertama untuk mengantisipasi jalan masuk pelaku seperti ini adalah tetap waspada pada siapa saja yang berteman dengan kita baik di dunia nyata khususnya di dunia maya.
Dunia maya menyediakan jaringan pertemanan virtual yang luas. Kita bisa menggunakan jejaring ini untuk mendatangkan manfaat bagi diri kita. Tapi juga sebaliknya, ada hal-hal yang bisa merugikan diri kita jika tidak waspada, seperti yang terjadi pada kasus di atas.
Hati-hati dengan permintaan yang tidak biasa, termasuk jika ada teman yang meminta kita menjadi objek penelitiannya. Tidak semua yang mengatasnamakan penelitian itu memiliki niat jahat.
Namun kasus di atas membuktikan tidak semua juga benar-benar ingin melakukan penelitian. Jadi tidak ada salahnya melakukan beberapa hal yang bisa mengonfirmasi kebenaran permintaan tersebut.
Misalnya, meminta bukti pendukung (proposal penelitian, foto-foto aktivitas terkait penelitian dan lain-lain). Bisa juga meminta konfirmasi dari teman-teman lain yang berada dalam circle pertemanan kita.
Bisa juga melakukan googling terlebih dahulu: apa metode penelitian yang diminta itu sudah benar? Apa sudah ada yang pernah melakukannya? Seberapa besar dampaknya terhadap objek penelitian dan seterusnya.
Jika sudah yakin 100% silakan lanjutkan. Tapi jika suara hati mengatakan tidak, atau kalau memang merasa tidak nyaman dengan permintaan teman tersebut, kita tetap punya hak mengatakan "maaf tidak bisa membantu". Jangan sampai kita menjadi tambahan korban kejahatan seksual di dunia maya. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H