Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cermin Kembar dan Peti Jenazah

12 Maret 2020   20:55 Diperbarui: 12 Maret 2020   20:58 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aneh. Cermin seharusnya memantulkan rupa orang yang mematut diri di depannya. Cermin besar di atas meja rias ini sebaliknya.

Saat memandang ke dalam cermin, yang terlihat hanyalah tempat tidur besar, lemari buku jati yang penuh sesak, gulungan permadani kusam yang mungkin sudah berabad tak digelar dan lantai kayu yang sama tuanya.

Tidak ada wajahku, atau ekspresi kebingunganku di dalam situ.

"Anda pasti sudah mati, Tuan."

Suara itu mengejutkanku. Seorang wanita muda, mengenakan pakaian bernuansa victoria berdiri di depan pintu kamar lalu mendekat ke arahku.

"Permisi,..." sahutku.

"Cermin itu hanya menampilkan wajah mereka yang masih hidup, Tuan. Jika tak menemukan wajah anda di dalam cermin ya, berarti ...," wanita itu mengangkat bahunya untuk menyatakan ketegasan dan kecuekannya sekaligus.

"Berarti aku sudah mati? Nona ..."

"...panggil saja aku Esmeralda, aku pengurus rumah. Tidak usah bingung, Tuan. Saat jiwa anda terpisah dari raga anda, anda mungkin sedang berada di salah satu simpul kosmis yang sifatnya seperti portal antar ruang dan waktu, sehingga jiwa anda tiba-tiba terlempar ke rumah ini. Aku sudah sangat sering bertemu ... jiwa-jiwa tersesat seperti anda."

Aku justru semakin bingung.

"Jadi aku benar-benar sudah mati? Apa penyebabnya?"

Esmeralda terdiam sejenak. "Entahlah, jatuh dari ketinggian, mungkin, atau kecelakaan hebat," sahutnya.

Ah, kecelakaan hebat? Potongan-potongan visual tiba-tiba melintas di pikiranku, seperti film yang terputus-putus. Tapi tak lama, sebelum potongan visual itu membentuk film yang lebih lengkap.

Aku dan Ellie, kekasihku, baru saja pulang dari sebuah department store. Kami memilih melewati jalan tol untuk memangkas waktu perjalanan karena lalu lintas di jalan biasa sedang tidak bersahabat. Setelah bermenit-menit di jalan tol, kami bersisian dengan sebuah mobil box besar. Mobil kami dan kendaraan itu berlari nyaris sama kencangnya.

Sampai mobil box di samping kami berjalan oleng dan tahu-tahu lepas kendali sehingga mobil tersebut membentur mobil kami dengan deras. Setelah itu potongan visual menghilang. Aku tidak ingat apa-apa lagi.

Apa memang benar ... aku sudah jadi arwah sekarang?

"Apa aku bisa pulang kembali, Nona?" tanyaku sedih. "Aku bahkan belum sempat berpamitan dengan Ellie."

"Aku bisa membantu mengembalikan jiwa anda kembali ke jalan yang semestinya. Tapi perihal bertemu kembali kekasih anda, bisa atau tidak, aku sama sekali tidak tahu."

Aku mengangguk. "Tidak masalah..."

Esmeralda tersenyum. "Baiklah kalau begitu. Satu-satunya cara untuk kembali adalah anda harus memandang lewat cermin yang lain."

"Ada cermin yang lain?"

"Ya. Cermin ini dibuat kembar. Yang satu jadi portal menuju ke rumah ini, yang satu lagi adalah portal untuk mengembalikan jiwa-jiwa yang terjebak. Tapi,-"

"...tapi kenapa?"

Esmeralda menurunkan volume suaranya, agar aku lebih memperhatikan kata-katanya. "Jika cermin yang ini hanya bisa digunakan untuk melihat yang masih hidup, cermin kembarnya hanya bisa digunakan untuk melihat jiwa mereka yang sudah mati."

"..dan dimana cerminnya berada?" aku sudah tidak sabar lagi.

"Tidak jauh... Dia berada tepat di belakang kita," jawab Esmeralda.

Aku baru menyadari, kalau kamar ini ternyata dibuat dengan desain simetris. Tepat di belakang kami, ada meja rias lainnya dengan cermin yang berukuran sama persis. Esmeralda pun melangkah ke cermin itu, aku mengikuti.

Saat berada dekat dengan cermin, dia memberi jalan kepadaku.

Aku pun mendekati cermin. Apa benar cermin ini bisa menampilkan wajah jiwa-jiwa yang tersesat?

Haaa?!! Apa yang terjadi??

Sebelah kiri wajahku ternyata rusak berat. Rahang nyaris terlepas, , rongga mata kiriku kosong melompong dan mata kananku hampir tercabut dari rongganya. Darah menggumpal dan menghitam di separuh wajahku. Tidak tahan melihat pemandangan mengerikan itu aku pun berteriak sekencang-kencangnya ...

 ***

Syukurlah pengalaman barusan ternyata hanya mimpi. Saat membuka mata, kamar masih gelap gulita. Aku pun bangun dari tempat tidur untuk---

Bruukk!

"Aww!" kepalaku membentur sesuatu dengan keras sehingga aku kembali jatuh ke tempat tidur. Lama kelamaan aku baru menyadari, aku tengah terbaring dalam sebuah ruangan sempit dan pengab. Mirip ... peti jenazah, tapi aku melihatnya dari sebelah dalam.

Suara sesuatu berjatuhan dan menengenai bagian atas ruang samar ini. Samar-samar aku juga mendengar lagu requiem dinyanyikan. Semakin lama suara lagu requiem semakin lirih.

Apa aku benar-benar dalam peti jenazah? 

Aku pun kembali berteriak sekencang-kencangnya

"Tolo-, ... hekk! Hek!!"

Rasanya sakit sekali! Aku baru ingat, sebagian rahang dan lidahku terluka berat karena kecelakaan itu. Aku pun menggedor-gedor papan peti jenazah. Tapi sepertinya sia-sia.

Sial! Cermin kembar itu tidak mengantarku kemana-mana.

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun