Bulan setengah purnama bersinar nelangsa di langit kota London. Sisa-sisa kabut masih menghias udara.
Malaikat maut bernama Shang-El berjalan tergopoh-gopoh di antara koridor rumah sakit. Agar tak mencolok, dia menyamar menggunakan rupa lelaki berperawakan tinggi dan tegap dengan setelan tuxedo. Rambutnya disisir klimis dengan tatapan dingin tetapi memikat seperti mata milik mendiang Elvis Presley.
Sayangnya, Shang-El nampak kebingungan. Dia mendapat tugas mencabut nyawa seorang wanita di rumah sakit itu.
Celakanya, dia baru saja menghilangkan berkas-berkas berisi informasi detail tentang manusia targetnya, nama, usia, pekerjaan, golongan darah bahkan nomor kamar yang digunakan untuk perawatan juga hilang tak tersisa.
Dia bisa saja kembali ke portal akhirat untuk meminta kembali informasi tugasnya, tetap itu tidak mungkin. Karena jika ketahuan lagi teledor, pimpinan tertinggi malaikat maut pasti marah besar. Bisa-bisa dia dihukum harus menjelma menjadi burung gagak lagi.
Makanya sejak tadi Shang-El tidak berhenti mengutuki dirinya sendiri. Sedikit keberuntungan, dia masih menyimpan foto wanita targetnya, wanita muda bermata biru dengan rambut kuning keemasan. Di foto itu targetnya terlihat manis sekali.
Akhirnya yang dilakukannya adalah menahan setiap wanita yang ditemuinya lalu membandingkan wajah mereka dengan foto di tangannya. Sejauh ini tidak membuahkan hasil.
Shang-El mengubah strategi. Dia menghadang setiap orang yang ditemuinya, baik lelaki maupun perempuan, memperlihatkan wajah wanita di foto dan menanyakan apakah mereka mengenali orang dalam foto itu atau tidak. Semua orang menjawab tidak.
Dia pun menyusuri kamar demi kamar untuk mengamati setiap pasien, masuk ke ruang operasi bahkan sampai masuk ke kantin rumah sakit. Tetapi segenap upayanya tidak berhasil.
Dia pun nyaris putus asa.