Kepergian almarhum B.J Habibie kemarin malam (11/9) membuat memori saya kembali menjejak peristiwa serupa sembilan tahun silam. Saat itu yang berpulang adalah Bu Ainun, cinta sejati almarhum.Â
Peristiwa bertahun lalu itu kembali segar di ingatan, karena saat itu terjadi kita semua melihat cinta yang megah telah terjadi. Kemegahan cinta itu melampaui sekat waktu dan dimensi yang dibuktikan puisi cinta abadi yang begitu sarat makna dengan bunga-bunga segar bertahun-tahun di atas pusara.
Sehingga kepergian almarhum membuat saya mengingat kembali puisi cinta tersebut, puisi yang ditulis untuk sang istri tercinta, puisi yang manis dan kelam.
Puisinya sederhana saja. Bukan puisi yang kaya metafora dan rima, atau puisi-puisi yang epik ala buah pena Chairil Anwar. Tetapi dalam kesederhanaan, kita bisa menangkap emosi yang begitu dalam sehingga ikut merasakan pedih dan getir karena seseorang yang dicintai telah berpulang.
Saya tuliskan kembali puisinya di sini.
Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu. Karena aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya, dan kematian adalah sesuatu yang pasti, dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang, pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada, aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang, tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik. Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.
Selamat jalan, kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya, kau dulu tiada untukku dan sekarang kembali tiada.
Selamat jalan sayang, cahaya mataku, penyejuk jiwaku, selamat jalan calon bidadari surgaku
Melalui puisi ini kita telah menyelami sisi lain seorang Habibie. Selain seorang teknokrat ulung dan nasionalis sejati, ternyata almarhum juga seorang yang penuh cinta dan puitis.Â
Ya, memang seperti itulah cara kehidupan menemukan keseimbangannya. Seorang insinyur yang kecerdasannya sudah diakui sampai mancanegara, juga bisa menuliskan puisi yang sarat emosi.
Puisi tersebut sudah tercipta cukup lama dan saat ini penulisnya pun telah pergi dari tengah-tengah kita. Tapi momentum ini membuat saya kembali membaca dan mendalami puisi tersebut, sebagai cara mengenang kembali sosok B.J Habibie.
Bagi yang sudah mengikuti kisah hidup Habibie baik melalui buku atau film, pasti sudah mengetahui begitu dalam cinta antara B.J Habibie dan Ainun. Banyak yang menganggap mereka sebagai "Romeo dan Juliet" berikutnya. Rasa cinta mendalam itu membuatnya begitu terguncang dengan kematian sang belahan jiwa Â
... Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang ...Â
Saat ini kita pun tengah "tersentak sedemikian hebat" karena kepergian presiden ke-3 negara kita.
Setiap orang yang kehilangan cinta sejati akan merasakan kehilangan yang begitu dalam. Bahkan rasa sakitnya seperti kehilangan separuh nyawa sendiri. Dalam puisi di atas kita mendapat gambaran yang jelas "perasaan kehilangan" itu dari kata-kata berikut,
 ... sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi ...
Tetapi dalam keadaan kehilangan yang mendalam itu, almarhum masih mencoba memberi definisi cinta yang terjalin di antara mereka dengan caranya sendiri
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang, tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik. Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.
Apa yang anda pikirkan dari cuplikan puisi tersebut?
Ya, kita bisa menggarisbawahi satu kata yang menjadi napas dari bait tersebut, bahkan dari seluruh puisi, kesetiaan. Dan inilah yang menjadi puncak dari cinta sejati, kesetiaan.
TawakalÂ
Pelajaran kedua dari puisi tersebut adalah sikap tawakal. Kematian adalah sebuah keniscayaan. Â Sekalipun merasakan duka luar biasa yang membuatnya tersentak dengan hebat. Habibie pada akhirnya mampu menerima peristiwa itu dengan tawakal.
Kata-kata pada awal puisi menguatkan pesan tersebut
Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu. Karena aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya, dan kematian adalah sesuatu yang pasti, dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.
Seluruh puisi pun ditutup kembali penegasan kalau kita sebagai manusia fana harus selalu berserah kepada kehendak Sang Khalik. Â
Selamat jalan, kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya, kau dulu tiada untukku dan sekarang kembali tiada.
Selamat jalan sayang, cahaya mataku, penyejuk jiwaku, selamat jalan calon bidadari surgaku
Demikianlah pelajaran kehidupan yang bisa dipetik dari puisi abadi Habibie untuk Ainun. Saat ini kita seperti berada di posisi B.J Habibie saat Bu Ainun pergi. Kita sama-sama kehilangan orang yang dicintai.
Semoga puisi ini pun dapat memberi penguatan kepada kita.
Selamat jalan, Bapak Bangsa, Habibie. Damai senantiasa besertamu. Semoga bertemu kembali bidadari surgamu, sang cinta sejati. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H