saver dan spender ditulis oleh Dwita Ariani dalam bukunya Your Money Your Attitide. Terminologi Saver dan Spender mengacu pada karakter manusia terkait kebiasaan mengelola keuangan pribadinya. Sebenarnya masih ada dua karakter lainnya lagi, yaitu Avoider dan Monk. Tapi untuk ulasan kali ini kita akan membahas lebih banyak karakter saver dan spender yang saling bertolak belakang satu sama lain.
IstilahSpender adalah istilah untuk mereka yang sangat senang berbelanja dan menghabiskan uang. Mereka sering mengeluarkan uang tanpa banyak perhitungan, seolah-olah kita hidup hanya untuk hari ini saja. Mereka biasa membela diri dengan pemikiran, kita sudah capek-capek bekerja mencari uang, mengapa harus ragu menghabiskannya?
Uang bagi mereka lebih sering diperlakukan sebagai alat tukar untuk memuaskan keinginan belaka. Jika tidak bisa berbelanja secara tunai, ada kartu kredit yang selalu siaga di dompet mereka.
Akibatnya para spender seringkali tidak memerhatikan aspek-aspek pengelolaan keuangan yang lain seperti investasi, pengelolaan utang piutang dan sebagainya. Tanpa manajemen keuangan yang baik, mereka akan sering terjerat utang yang imbasnya bisa lebih luas dalam kehidupan mereka.
Sebaliknya, saver adalah mereka yang penuh analisis saat melakukan pengeluaran. Para saver menyadari hidup bukan untuk sehari saja, tetapi masih ada hari-hari lain di depan. Bagi mereka, semakin banyak uang yang bisa dihemat, berarti semakin banyak yang bisa dialokasikan untuk tabungan sebagai bekal di hari mendatang.
Mereka sangat pakar dalam urusan berhemat. Mereka sering memesan menu yang paling murah saat berada di restoran, bahkan berpikir keras untuk mencari kiat menghemat uang parkir saat bepergian. Akibatnya orang lain kadang memberi penilaian kalau orang-orang saver ini bersifat kikir.
Bentukan Masa Lalu
Seperti halnya karakter manusia yang lain, karakter spender dan saver pun tidak lahir begitu saja. Karakter ini adalah hasil bentukan dari kebiasaan-kebiasaan hidup selama ini, endapan pengalaman masa lalu dan konsep-konsep berpikir yang diperoleh dari lingkungan.
Misalnya, seorang anak kecil melihat gerobak es krim lewat di depan rumahnya lalu meminta uang kepada orangtuanya untuk membeli es krim tersebut. Tanpa banyak komentar, orangtua memberikan uang belanja kepada anak tersebut.
Di lain waktu, saat keluarga sedang berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Anak tersebut melihat mobil-mobilan remote control yang mahal dan menginginkan mainan tersebut. Tanpa banyak komentar, orangtua si anak segera membawa mainan ke kasir, membayarnya dan membawa mainan tersebut pulang ke rumah. Banyak permintaan-permintaan lain si anak yang langsung dikabulkan oleh orangtuanya tanpa banyak memberi masukan balik kepada si anak.
Memang orangtua mengabulkan permintaan si anak karena rasa sayang. Tapi apa yang terjadi dalam perkembangan jiwa si anak? Dia akan menganggap bahwa keinginannya akan selalu dipenuhi dan uang adalah alat yang tepat untuk memuaskan keinginan-keinginannya.
Ilustrasi lain yang bertolak belakang, jika seorang anak tumbuh kembang di dalam keluarga yang pas-pasan, maka sejak kecil dia akan belajar untuk membatasi keinginan-keinginannya karena keterbatasan daya beli orangtuanya. Akibatnya saat dewasa si anak akan berperilaku yang sama dalam mengelola keuangan.
Tapi bisa juga sebaliknya, jika si anak setelah dewasa memiliki pendapatan besar, bisa jadi sifat pemberontakan dari dalam jiwanya muncul karena sejak kecil ia sudah ditekan. Akibatnya belanjanya menjadi impulsif dan sulit dikendalikan.
Move On dari Spender menjadi Saver
Pertanyaan berikutnya, apakah karakter spender atau saver ini tidak bisa berubah sama sekali?
Sama seperti karakter yang lain, karakter mengenai pengelolaan keuangan pun bisa diubah. Proses switch karakter ini selalu dimulai dari switch pikiran atau mindset.Â
Mindset adalah pangkal dari segala tindakan. Tindakan yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi kebiasaan dan selanjutnya membentuk karakter seseorang.
Jadi yang pertama dilakukan adalah mengubah pola pikir konsumtif menjadi produktif. Saat anda tiba-tiba mendapat rejeki nomplok Rp500.000 misalnya, apa yang pertama kali terlintas di pikiran anda?
Seorang spender biasa akan langsung berpikir produk-produk apa yang bisa dibelanjakan untuk menghabiskan uang Rp500.000 tersebut. Sebaliknya, seorang saver akan berpikir bagaimana kiat agar Rp500.000 tadi menjadi Rp501.000, Rp502.000 dan seterusnya.
Ini ilustrasi perbedaan mindset kedua karakter. Untuk moving on dari mindset spender menjadi saver, kita tidak boleh berpikir menghabiskan uang tersebut untuk belanja. Tapi mengubahnya menjadi lebih produktif, misalnya untuk tambahan modal usaha atau paling tidak menambah tabungan, masih ada peluang mendapat imbas hasil dari bunga tabungan. Seorang spender harus mulai mengatur cara berpikirnya menjadi cara berpikir seorang saver.
Langkah berikutnya, mindset saver ini diikuti oleh tidakan-tindakan yang selaras, seperti membawa bekal ke kantor, tidak membeli barang hanya karena tergiur diskon, membuat rencana belanja sebelum masuk ke swalayan dan mematuhinya, menabung uang kecil atau kembalian, melakukan survei harga di beberapa outlet sebelum membeli barang mahal atau dalam jumlah besar, membawa air mineral sendiri saat bepergian dan lain-lain.Â
Singkat kata, walaupun tindakan ini tidak secara langsung mendatangkan pendapatan tambahan, tetapi dapat dilakukan untuk menghemat pengeluaran.
Tindakan-tindakan yang mungkin pada awalnya dilakukan dengan "sedikit paksaan", lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Jika terbiasa membawa bekal ke kantor misalnya, kita akan merasa "ada yang salah" jika pada suatu hari kita mesti makan di luar, karena bekal ketinggalan di rumah. Atau jika sudah terbiasa berbelanja berdasarkan perencanaan bulanan, kita akan merasa "bersalah" jika suatu saat kita tidak mematuhi rencana belanja tersebut.
Nah, jika sudah sampai pada tahap ini, sebenarnya kebiasaan yang kita bangun sudah mulai membentuk karakter kita.
Jadi bukan tidak mungkin seorang spender berubah 180 derajat menjadi saver. Perubahan ini dimulai dari mengubah pola pikir, kemudian mengubah perilaku, kemudian mengubah kebiasaan yang pada akhirnya membentuk karakter. Semuanya bisa berjalan lancar jika niat kita dibarengi dengan komitmen dan perilaku disiplin. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H