"Nggak apa-apa, Jah! Tadi cangkir kopiku jatuh," jawabku dengan intonasi dingin. Rasanya malas pagi-pagi sudah berurusan sama emak-emak bawel ini.
"Mas Priyo nggak kenapa-napa?" tanyanya lagi.
"Enggak," sahutku setengah berteriak.
"Mau dibantu, Mas?"
"Enggak!"
"Yakin?"
"Enggak! Eh, iyaa."
Ijah pun tertawa geli, tapi aku ogah menanggapi.
Pecahan cangkir kopi aku naikkan ke atas meja, lalu keset kaki dari kaos bekas aku hamparkan di atas ampas kopi yang berceceran. Suara berisik Ijah tidak terdengar lagi. Dia pasti sudah menghilang dari situ untuk mengurusi keperluan sekolah si Bojes, anak semata wayangnya.
Ijah tetangga terdekatku ini, adalah seorang janda beranak satu. Suaminya meninggal karena kecelakaan sejak si Bojes berusia dua tahun. Sejak itu Ijah berjibaku membiayai kehidupan keluarga kecil mereka dengan membuka usaha laundry kecil-kecilan.
Yang membuat aku dan juga sebagian tetangga kurang suka dengan kehadirannya adalah kadar cerewetnya yang sedikit over, kombinasi dengan sifat kepo yang di atas ambang kewajaran. Oleh karena itu tidak banyak tetangga yang betah berlama-lama ngobrol dengannya. Aku juga seperti itu. Kalau pun bersedia ngobrol panjang lebar, itu pasti basa-basi kalau aku mau pinjam sesuatu atau mau ngutang ongkos laundry dulu.