Setiap kali menghirup aroma penghabisan kopi hitam di ujung pagi, aku menatap ampas kopi yang tersisa di dasar cangkir lalu bertanya padanya,
"Pada siapakah senyuman pertama hari ini kuberikan?" dalam hati.
Tentu saja ampas kopi yang asam itu ragu-ragu menjawabnya. Aku pun tidak mengetahui jawabannya, sampai aku menyapa penumpang pertama dan memberikan senyum setulus hati padanya. Jika aku beruntung, penumpang itu adalah gadis manis berbibir tipis atau penumpang yang tidak pelit memberi tip. Walau lebih sering penumpang pertama itu adalah remaja yang minta diantar sampai gerbang sekolah atau bapak-bapak pegawai yang tidak mau terlambat absen. Tapi semua aku syukuri apa adanya.
---
Pada ujung pagi yang lain, pertanyaan yang sama aku sampaikan pada ampas kopi di dasar cangkir.
Pada siapakah senyuman pertama hari ini kuberikan?
Seperti biasa, ampas kopi diam membisu. Tapi beberapa detik kemudian, aku melonjak kaget saat ampas kopi menyahut, "Pada cinta sejatimu, jodoh dari Tuhan untukmu."
Saking kagetnya, cangkir kopi sampai terlepas dari jari-jariku dan jatuh ke lantai. Cangkir malang itu terbelah tiga menyebabkan ampas kopi berceceran kemana-mana, kontras dengan warna ubin teras. Cangkir itu jadi seperti seorang ksatria perang yang ambruk tertembak musuh, meninggalkan jejak darah di mana-mana.
Aku yakin tidak salah pendengaran. Ampas kopi itu baru saja bersuara kepadaku dengan suara sedikit serak, mirip kakek-kakek yang sedang menasihati cucunya.
"Mas Priyo, ada apa?" suara seriosa menimpali dari sisi teras indekostku. Itu suara Ijah. Kepalanya muncul dari balik teralis jendela kamar. Rumah kami jaraknya memang hanya sejauh dua langkah kaki, jadi dia pasti bisa mendengar suara cangkir kopi yang jatuh tadi.